Makalah Hubungan Bahasa dan Faktor-Faktor Sosial

Tugas Kelompok: sosiolingistik
Mata Kuliah: Sosiolinguistik
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Kasmawati, S.Pd, M. Pd.




Hubungan Bahasa Dan Faktor Sosial


Kelompok II

Mastiah                                   (1688201028)
Muhammas Rafly Sufi              (1688201023)
Fitriana                                    (1688201011)



BAHASA 1 SEMESTER 4
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS MUSLIM MAROS
2018




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hubungan Bahasa Dan Faktor Sosial”. Ucapan terimakasih juga tak lupa kita haturkan kepada Ibu Kasmawati, S.Pd, M. Pd. selaku Dosen mata kuliah Sosiolinguistik, yang telah memberikan tugas ini kepada kami. meskipun dalam penyusunan makalah ini sumber dan referensi penyusunan masih sangat terbatas,  kami selaku penyusun tetap berusaha menyajikannya sebaik mungkin.
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah agar dapat berguna dalam rangka menambah wawasan kita mengenai segala hal yang berkaitan dengan fakyor-faktor sosial ini meliputi: kelas sosial, konteks sosial, jenis kelamin, usia, seni dan religi, budaya atau geografi, dan pranata sosial.
       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi segenap pembaca. Utamanya bagi kami yang telah menyusun makalah ini. Dan sekiranya pembaca sekalian menemukan kesalahan, sekiranya untuk menyampaikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun.


Maros, 16 April  2018


Penyusun






 DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ 
DAFTAR ISI............................................................................................................. 
BAB I........................................................................................................................ 
PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A.   Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.   Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II....................................................................................................................... 
PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
A.   Pengertian Bahasa dan Faktor Sosial.................................................... 3
B.   Hubungan Bahasa dengan Faktor Sosial............................................. 3
1.    Hubngan Bahasa dengan Kelas Sosial.......................................... 3
2.    Hubungan Bahasa dengan Konteks Sosial................................... 5
3.    Hubungan Bahasa dengan Jenis Kelamin..................................... 6
4.    Hubungan Bahasa dengan Usia...................................................... 11
5.    Hubungan Bahasa dengan Seni dan Religi.................................. 15
6.    Hubungan Bahasa dengan Budaya atau Geografi....................... 15
7.    Hubungan Bahasa dengan Pranata Sosial.................................... 16
BAB III...................................................................................................................... 
PENUTUP............................................................................................................... 18
A.   Kesimpulan................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Gagasan yang  mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas, bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut berhubungan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor non kebahasaan, seperti faktor sosial budaya, termasuk tata hubungan antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosial budaya dan variasi penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Maka dari itu kami akan mengupas semua hubungan bahasa yang digunakan oleh manusia terhadap berbagai faktor sosial masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Yang Dimaksud Bahasa Dan Faktor Sosial?
2.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Faktor Sosial?
3.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Kelas Sosial?
4.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Konteks Sosial?
5.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Jenis Kelamin?
6.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Usia?
7.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Seni Dan Religi?
8.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Budaya Atau Geografi?
9.      Bagaimana Hubungan Bahasa Dengan Pranata Sosial?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mampu Mendefinisikan Bahasa Dan Faktor Sosial.
2.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Faktor Sosial.
3.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Kelas Sosial.
4.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Konteks Sosial.
5.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Jenis Kelamin.
6.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Usia.
7.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Seni Dan Religi.
8.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Budaya Atau Geografi.
9.      Mampu Memahami Hubungan Bahasa Dengan Pranata Sosial.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bahasa dan Faktor Sosial
1.Pengertian Bahasa
Seperti yang diungkapkan Kridalaksana (1993) dan Djoko Kentjono (1982) Bahasa adalah lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama , berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
2.      Pengertian Faktor Sosial
Faktor sosial menurut Anderson meliputi pendidikan dan suku bangsa Muzaham 1995), sedangkan Gottlieb (2002) menyebutkan dukungan keluarga sebagai salah satu faktor sosial. Dengan mengadaposi pendapat Anderson dan Gottlieb tersebut maka faktor-faktor sosial adalah pendidikan, suku, dukungan keluarga.

B.     Hubungan Bahasa Dengan Faktor Sosial
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Perbedaan bahasa-bahasa tersebut diakibatkan oleh adanya faktor-faktor sosial, yang meliputi: kelas sosial, konteks sosial, jenis kelamin, usia, seni dan religi, budaya atau geografi, dan pranata sosial.
1.      Hubungan bahasa dengan kelas social
Menurut Sumarsono (2002: 43) Kelas sosial (scocial class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya. Seorang individu mungkin mempunyai setatus sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak dikeluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru jika dia guru disekolah negeri, dia juga masuk kedalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas sosial tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada mereka.
Di negara-negara industri biasa terbagi menjadi kelas pegawai, kelas buruh, kelas pedagang, dan kelas manajer. kelas buruh dalam masyarakat industri biasanya dianggap sebagai kelas bawah, namun demikian di dalamnya masih terdapat penggolongan kelas (bawah, menengah, atas) dan kelas pedagang, kelas pegawai, maupun manajer masih ada penggolongan kelas di dalamnya.
Kasta biasanya dianggap salah satu kelas sosial, namun berbeda dengan kelas sosial lain kasta menggunakan sistem kelas sosial tertutup, pada kasta orang tidak bisa seenaknya memasuki golongan lain. orang yang dilahirkan dari kasta brahmana pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang yang dilahirkan dari kasta sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta brahmana.
Sebaliknya, di negara-negara industri penggolongan kelas sosial menggunakan sistem terbuka. Sehinnga dengan usaha dan kerja keras seseorang bisa menaikan status kelas sosialnya
Pada setiap kelas sosial tentu memiliki ciri-ciri ataupun ragam yang berbeda dibandingkan dengan kelas sosial lain.
2.      Hubungan bahasa dengan konteks social
Halliday seorang tokoh linguistik sistematik yang menaruh perhatian pada segi kemasyarakatan bahasa, secara implisit membedakan bahasa sebagai sistem  dan bahasa (tutur) sebagai keterampilan di masyarakat. Halliday mengatakan perpaduan antara keduanya melahirkan kemampuan komunikatif. Yang dimaksud kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks sosial dan konteks situasinya.
Untuk dapat disebut mempunyai kemampuan komunikatif seseorang itu haruslah mempunyai kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan kalimat yang tidak gramatikal, serta mempunyai kemampuan untuk memilih bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, mampu memilih ungkapan sesuai dengan tingkah laku dan situasi, serta tidak hanya dapat mengintepretasikan makna referensial (makna acuan) tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna situasional.
Jadi penggunaan bahasa haruslah sesuai dengan konteks sosial dan konteks situasinya agar bahasa ini dapat diterima. Dan mampu membawa pesan dan tujuan didalamnya.
Perkembangan bahasa yang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menyebabkan terjadinya kontak bahasa antara penutur bahasa. Kontak antara bahasa yang dibawa oleh manusia ini melahirkan variasi dan ragam bahasa.
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan.
Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi merupakan gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah ini:
a. faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya.
b.Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
        Menurut Chaer (2010) variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Menurut Allan Bell (1997) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur memiliki alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan makna sosial yang berbeda pula. Jadi, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.
3.      Hubungan bahasa dengan jenis kelamin
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memilik hubungan yang sangat erat. Secara khusus, pertanyaan yang telah menjamur sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita menggunakan bahasa standar lebih sering dibanding pria. Cameron (1995) mengangap bahwa laki-laki dan perempuan secara sederhana berbicara berbeda karena asuhan yang berbeda.
Pandangan Noerhadi (1989) berpandangan,  sebagian besar masyarakat Indonesia, anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan dengan cara yang secara sistematis berbeda. Tempat –tempat seperti sekolah, di tempat kerja, maupun di rumah cenderung lebih menguntungkan laki-laki.
Kualitas suara laki-laki dibedakan dengan suara perempuan. Menurut Graddol dan Swann (1989) ada tiga cara yang populer untuk menjelaskan fenomena tersebut.
a.       Pejelasan Kualitas Suara Laki-laki dan Perempuan
1)      Penjelasan sosiobiologis
Para ahli etologi menemukan bahwa pada banyak spesies, binatang jantan memiliki vokalisasi nada yang berbeda dengan betina.
Pada manusia suara laki-laki juga diangap memiliki karakter yang khas yang sering disebut sebagai “hukum pertarungan”. Laki-laki bertarung karena faktor perempuan serta memperebutkan perempuan itu. Akibatnya laki=-laki menjadi lebih tinggi, lebih berbobot, lebih kuat, lebih banyak tumbuh rambut dan lebih bertenaga suaranya di banding perempuan. Vokalisasi laki-laki dirancang agar terkesan agresif dan mengancam dalam medan persainagan.
2)      Penjelasan sosiopsikologis
Penjelasan sosiopsikologis menempatkan konsep “maskulin” dan “feminin” untuk kualitas suara. Dimensi maskulinitas dan feminitas didasarkan pada ciri-ciri yang secara sosial, seperti “agresi” dan “dominasi” yang identik dengan laki-laki, yang selalu berlawanan dengan sifat “penuh kasih sayang” dan “submisif” yang identik dengan perempuan. Namun demikian teori ini tidak serta merta mengidentikan maskulin dengan laki-laki, karna seorang laki-laki mungkin saja memiliki sejumlah karakter feminin tertentu, sama seperti perempun yang mempunyai sifat maskulin.
3)      Penjelasan sosiopolitis
Para feminis menyatakan bahwa sifat alami yang melingkupi banyaknya aspek gender memiliki banyak implikasi-implikasi politis yang penting. Kebijakan politis itu sering sekali tidak terelakan dan sulit dipahami. Tidak ada alasan intrinsik mengapa suara perempuan kurang memiliki otoritas. Adanya pandangan bahwa suara perempuan dianggap feminis dan laki-laki diangap maskulin akan sangat merugikan perempuan. Kerugian ini terlihat dari peran perempuan yang hanya cocok untuk peran domestik dan tidak cocok untuk peran publik, seperti politisi dan pengacara karena kwalitas suaranya yang rendah.
Gambaran lain dari ketidak setaraan antara bahasa perempuan dan bahasa laki-laki juga tercermin dalam bahasa inggris. Seorang laki-laki dewasa dapat menggunakan gelar Mr di depan namanya, sedangkan seorang wanita dewasa tidak dapat langsung menggunakan gelar seperti laki-laki. Ia harus memilih tiga “gelar” yang ada Miss, Mrs, Ms. Hal ini menunjukan ketidaksimetrisan yang bersumber pada perlakuan perempuan dan laki-laki yang tidak sama. Laki-laki dianggap sebagai makhluk yang umum. Sedang perempuan dianggap sebagai makhluk khusus.
Dalam bahasa Indonesia, penggunaan istilah tertentu yang berkenaan dengan perempuan sering dilebeli dengan ciri-ciri tertentu. Kata-kata seperti “pengusaha”, “pengarang”, “klub”, “lembaga pemasyarakatan” pada kenyataanya adalah kata-kata yang bermakna laki-laki. Jika kata-kata dirujuk pada perempuan, kata-kata itu akan mendapatkan tambahab “perempuan pengarang”, “klub sepakbola wanita”, “lembaga pemasyarakatan wanita”. Ini menunjukan bahwa dalam bahasa Indonesia pun terdapat perlakuan khusus pada perempuan.
b.      Ciri Kebahasaan Laki-laki dan Perempuan.
Berikut ini adalah ciri pembeda kebahasaan antara laki-laki dan perempuan:
1)      Gerak anggota badan dan ekspresi wajah.
Perbedaan kebahasaan pria dan wanita mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal yang membarengi tutur. Hal-hal yang lain itu umumnya adalah gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah.
Gesture adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur. Umpanya orang yang mengatakan setuju dengan suatu hal biasanya akan menyertainya dengan anggukan kepala. Sedang apabila tidak setuju akan menggelengkan kepala. Berkenaan dengan gesture ini, di Indonesia wanita dalam bertutur cenderung lebih banyak menggunakan gesture. Dalam hal ekspresi wajah, di Indonesia wanita relatif lebih banak “mempermainkan” bibir dan matanya dibandingkan dengan pria.
2)      Suara dan Intonasi
Banyak orang yang bisa mengenal suara pria dan wanita. Hal ini kerena secera umum volume suara pria lebih besar dari suara wanita. Dalam dunia seni suara pria dan wanita dibedakan. Suara wanita misalnya ada suara alto dan sopran, pada pria ada suara tenor dan bass. Semua ini tentu berhubungan dengan anggota tubuh penghasil suara yang sedikit banyak berbeda atara pria dan wanita.
Intonasi, kita bisa melihat dalam hal intonasi pada wanita, diakhir kalimat lebih banyak menggunakan intonasi “memanjang” diakhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah “suara manja” yang khas pada wanita.
3)      Fonem
Ada dua fonem yang khusus untuk pria dan khusus untuk wanita. Dalam bahasa Yukaghir, asia timur laut. Keduanya dilafalkan sama oleh anak-anak. Lafal kanak-kanak ini sama yang dipakai dengan lafal yang dipakai wanita dewasa dan berbeda pada wanita usia tua. Lafal pria deasa berbeda ketika masih kanak-kanak, dan berbeda pula ketika tua, perbedaan itu dapat diskemakan demikian:
           

Kanak-kanak
Dewasa
Tua
P
/tz/, /dz/
/tj/, /dj/
/cj/, /jj/
  W
/tz/, /dz/
/tz/, /dz/
/cj/, /jj/

           Tampak sekali wanita hanya sekali wajib mengubah lafalnya, yaitu dari masa dewasa ke masa usia tua, dan pria mengalami dua kali perubahan lafal fonem sepanjang peralihan itu. Perubahan itu berkaitan dengan perbedaan usia. Perbedaan bahasa pria dan wanita seperti itu memang tidak bisa diterangkan atas dasar perbedaan sosial karena diantara kedua kelompok itu memang tidak ada rintangan sosial. Jadi, perbedaan itu tidak bisa di terangkan atas dasar kelas sosial, dialek geografis atau etnik. Karena itu kita harus mencari penyebab yang lain.
4)      Teori Sistem Kekerabatan
Di Indonesia pembedaan di dasarkan pada orang yang disapa atau disebut, bukan pada penutur. Kata paman dan bibi mengacu pada jenis kelamin yang berbeda dari orang yang kita sapa. Yang menyebut paman dan bibi adalah orang-orang itu, tidak peduli apakah kemenakan itu laki-laki atau perempuan.
c.       Ragam Bahasa Waria dan Gay
Berkaitan dengan tutur pria dan wanita tentu akan muncul pertanyaan. apakah seorang waria dan gay tidak bisa diklasifikasikan kedalam bahasa pria dan wanita?
Waria (wanita-pria) adalah merujuk kepada seseorang yang secara fisik berkelamin laki-laki tapi berpenampilan dan mendefinisikan diri sebagai perempuan. Sedangkan Gay (Homoseks) merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama lakaia-laki secara emosional maupun seksual.
     Menurut Dede Oetomo yang meneliti waria dan gay di Surabaya mereka memiliki bahasa “Rahasia” dan nampak lain dari bahasa umumnya karena adanya kosakata yang khas dan berbeda dengan umum.
     Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: (A) struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (B) pembentukan istilah baru dengan atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada. Pada unsur (A) ada dua jenis pokok yaitu (A1) berdasarkan bahsa Jawa dan (A2) bedasarkan bahasa Indonesia. Unsur A2 dibedakan lagi menjadi dua yaitu (A2a) jenis kata yang berakhiran dengan –ong, dan (A2b) jenis kata yang berakhiran dengan –s. Kaum waria umumnya memakai (A1), dan sedangkan gay memakai (A1) dan (A2), dan jenis (B) dipakai oleh keduanya.
           Contoh A1:
                 Banci=> siban
                 Lanag/laki-laki => silan
                 Nyonya => sinyon
                 Payu/laku => sipa
     Kaidah:
                                               i.   Ambil tiga bunyi pertama, konsonan(K)+ vokal (V)+ K
                                             ii.   Tambah si di depanya.
                                           iii.   Bunyi K akhir disesuaikan dengan kaidah umum, dalam bahasa Jawa /y/ hilang /ny/ menjadi /n/
      Contoh A2a:
                              Banci => bencong
                              Homo => hemong
                              Maen ‘bersetubuh’=> meong
     Kaidah:
d.      Ambil dua bunyi pertama atau dua jika K2 tidak ada.
e.       Tambah –ong di belakangnya.
   Contoh A2b:
                                       Banci => bences
                                       Homo => hemes
                                       Maen => maes
     Kaidah:
a.       Aturan pada a dan b pada kaidah A1a berlaku disini.
b.      Tambahan –es pada akhir kata.
              Tentang jenis B dapat dikatakan jenis ini tidak memiliki kaidahnya. Gay surabaya cenderung mencampuradukan jenis A dan B.
4.      Hubungan bahasa dengan usia
Usia merupakan salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok usia akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang memberikan warna tersendiri bagi kelompok tersebut. Usia akan mengelompokan masyarakat menjadi kelompok anak-anak, kelompok remaja, kelompok dewasa. Tentu saja batas usia itu tidak bisa secara tepat kita pastikan.
a.                   Tutur Anak-anak
Anak mulai belajar berbicara pada usia 18 bulan, dan kurang lebih usia tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan sudah menguasai “tata bahasa” bahasa ibu-nya. Pada masa perkembangan bahasa anak-anak memiliki ciri antara lain adanya penyusutan atau (reduksi) dan ciri universal.
1)   Menilik dari penelitian Roger Brown dan Ursula Bellugi, yang disusutkan adalah kata-kata yang termasuk golongan fungtor atau kata tugas, kata yang tetap bertahan dalam tutur anak adalah kata tergolong kontentif  atau kata penuh, yaitu kata yang memiliki makna sendiri tanpa harus bergabung dengan bentuk lain.
Hal demikian bukan merupakan ketidakmampuan anak melainkan harus diangap sebagai strategi komunikasi dan strategi menguasai kaidah bahsa berikutnya.
2)   Adapun ciri tutur anak yang lain adalah ciri universal  yang ditinjau dari segi fonologi. Ciri ini menunjukan bahwa anak-anak pada fase awal tuturaya banyak menggunakan bunyi bilabial yang umumnya dalam berbagai bahsa merupakan bunyi yang banyak digunakan untuk penyebutan nama ibu, seperti “mama” dalam bahasa indonesia, “mom” dalam bahsa iggris dan “mak” dalam bahasa jawa. Bunyi bilabial dirasa lebih umum dan lebih mudah diucapkan oleh anak.
b.      Tutur Anak Usia SD
Anak usia sekitar tujuh tahun biasanya sudh memasuki sekolah dasar(SD). Setelah SD kepada mereka diajarkan keteramilan suatu bahasa. Paling tidak ada dua kemungkinan yang terajadi.
Pertama mereka diajarkan bahasa yang sebenarnya merupakan bahasa ibu mereka sendiri. Kedua, mereka diajari bahasa lain yang berbeda dengan bahsa ibu. Bahasa lain itu akhirnya menjadi bahasa kedua (B2) atau bahasa asing. Contoh anak SD di Indonesia yang umumnya B1 mereka adalah bahasa daerah, kemudian memperoleh bahasa Indonesia sebagai B2.
Seperti anak-anak kecil yang sedang belajar menguasai B1-nya, anak-anak yang sedang belajar B2 cukup kreatif menciptakan “bentuk-bentuk baru” yang menyimpang dari ragam baku atau yang dipelajari. Itu berarti tutur anak pun bersifat inovatif.
c.       Tutur Remaja
Masa remaja, ditinjau dari segi perkembangan merupakan fase kehidupan yang menarik dan mengesankan. Masa remaja mempuyai ciri antara lain, pengelompokan, petualangan, dan “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula dalam bahasa. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahsa “rahasia” yang hanya berlaku bagi kelompok mereka, atau jika semua pemuda sudah tahu, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-anak dan orang tua. Berkut ini adalah macam bahasa rahasia para remaja yang pernah muncul di Indonesia:
1)            Penyisipan konsonan V+vokal
Sebelum tahun lima puluhan dikalangan remaja muncul kreasi penyisipan
konsonan v+vokal pada setiap kata yang dipakai.
Contoh:
Mata= ma+ta => (ma+va) +(ta+va) => mavatava
Mati = ma+ti => (ma+va) + (ti+vi) => mavativi
2)            Penggantian suku akhir dengan –sye
Menjelang tahun enam puluhan muncul bentuk lain. setiap kata diambil hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilanggakan dan diganti dengan –sye. Kalau seluruh kata dalam kalimat diganti dengan cara ini dan diucapkan dengan cepat, maka terdengar seperti bahasa cina.
Contoh:
   Kunci => kunsye
        Tambah =>tamsye
3)         Membalik fonem-fonem dalam kata (ragam walikan)
Sekitar tahun 1960 muncul bahasa rahasia remaja di malang dan akhirnya meluas. Aturan umum pada bahasa rahasia ini adalah dasarnya bisa bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kata-kata dibaca menurut fonem dari belakang, dibaca “terbalik”
Contoh:
                     Mata=> atam
                     Sari=>  iras
4)         Variasi dari model (3)
Setelah tiga model di atas meluas pada orang-orang yang bukan pemuda lagi(beranjak dewasa), model pembalikan itu divariasikan. Caranya, kata yang sudah dibalik itu disisipi bunyi-bunyi tertentu, atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu diubah.
Contoh:
   Tidak=> kadit => kadodit
   Sehat => tahes => tahohes
5)         Bahasa prokem
Salah satu tutur yang khas pada remaja adalah yang muncul di jakarta yang disebut bahasa prokem. Meskipun bahsa prokem sering dikatakan milik remaja namun pada kenyataanya pencipta aslinya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit dan sebagainya. Rumus pembentukan bahasa prokem adalah dengan menyisipkan kata  -ok- pada kata yang telah disusutkan,
Contoh:
            Bapak => bap=> b-ok-ap=> bokap
            Ngumpet=> ngum => ng-ok-um=> ngokum
d.      Tutur orang dewasa
Pada tuturan orang dewasa tidak banyak mendapat variasi. Karna pada fase ini seseorang telah mengalami fase-fase sebelumnya dan dapat dikatakan telah memiliki bahsa yang sudah matang.
5.      Hubungan bahasa dengan seni dan religi
Bahasa, seni, dan religi adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal. Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian urutan ke ketujuh. Menurut Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena manusia sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok sosial.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari segala kebudayaan. Atas dasar itu, hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga diperoleh dengan memahami hubungan bahasa dengan kebudayaan.

6.      Hubungan bahasa dengan budaya atau geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Begitu pula sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam,dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

7.      Hubungan bahasa dengan pranata social
Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan. Menurut Horton dan Hunt, yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat.
Menurut Koenjaraningrat yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan mereka.
Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
Pranata sosial terdapat dalam setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun masyarakat kompleks atau masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan tuntutan mutlak adanya suatu masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana manusia tinggal bersama membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin kompleks kehidupan masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan atau yang dihasilkan guna pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama. Pranata berjalan seiring dengan semakin majunya masyarakat.
Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan manusia. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancer sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu sendiri.
Dalam pembentukan pranta-pranata ini setiap masyarakat tentu memiliki bahasa tersendiri yang akan mengefektifkan dan menjadi sarana pemelihara prenata sosial.


BAB III
     PENUTUP


1.      KESIMPULAN
Bahasa adalah lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama , berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Dan faktor sosial adalah pendidikan dan suku bangsa.
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi Hal tersebut mengakibatkan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik. Perbedaan bahasa-bahasa tersebut diakibatkan oleh adanya faktor-faktor sosial, yang meliputi: kelas sosial, konteks sosial, jenis kelamin, usia, seni dan religi, budaya atau geografi, dan pranata sosial.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama. Pada setiap kelas sosial tentu memiliki ciri-ciri ataupun ragam yang berbeda dibandingkan dengan kelas sosial lain.
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berkaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya.
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memilik hubungan yang sangat erat. Sebagian besar masyarakat Indonesia, anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan dengan cara yang secara sistematis berbeda. Pola asuh inilah yang sedikit banyak mempengaruhi tutur pria dan wanita.
Usia merupakan salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok usia akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang memberikan warna tersendiri bagi kelompok tersebut. Usia akan mengelompokan masyarakat menjadi kelompok anak-anak, kelompok remaja, kelompok dewasa.
 Bahasa, seni, dan religi adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan unsur kebudayaan yang universal.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Dalam pembentukan pranta-pranata ini setiap masyarakat tentu memiliki bahasa tersendiri yang akan mengefektifkan dan menjadi sarana pemelihara prenata sosial.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menelaah Puisi Berdasarkan Media Pengungkapan

Ringkasan Buku Pendidikan yang Memiskinkan