Menelaah Puisi Berdasarkan Media Pengungkapan
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Rumusan Masalah.
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Menelaah Puisi?
2. Bagaimana Langkah-langkah Menelaah Puisi?
3. Berikan Contoh Hasil Analisi Puisi Berdasarkan Media?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menelaah Puisi
Kata menelaah memiliki dua arti. Menelaah berasal dari
kata telaah. Menelaah adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tapi maknanya berbeda. Menelaah memilii arti dalam
kelas verba atau kata kerja sehingga menelaah dapat menyatakan suatu tindakan,
keberadaan, pengalaman atau pengertian dinamis lainya. Menelaah puisi berarti
proses mempelajari, menyelidiki, mengkaji, memeriksa, menilik suatu puisi.
B. Langkah-langkah
Menelaah Puisi Berdasarkan Media
Media pengungkapan
adalah alat untuk mengungkapkan. Media pengungkapan dalam puisi ada dua yakni, media konvensi bahasa dan media konkret (rupa)
puisi, berarti alat untuk mengungkapkan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam
bahasa puisi dan puisi konkret.
Media diartikan sebagai alat, berarti benda yang
dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Untuk memahami
puisi berdasarkan media pengungkapan terlebih dulu dilihat ciri-ciri antara
puisi konvensional dan puisi inkonvensional (konkret).
1. Menelaah Puisi Konvensional.
Arti kata konvensional yang digunakan pada judul di atas
adalah sebagai konvensi (kesepakatan) umum. Sedangkan konotasi leksikal (makna
menurut kamus) kata konvensi adalah permufakatan atau kesepakatan (Depdiknas,
2008: 730). Yang pertama menjadi kata sifat dan yang kedua menjadi kata benda.
Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer (manasuka), yang
digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri (Depdiknas, 2008: 116). Arti puisi adalah ragam sastra
yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait
(Depdiknas, 2008: 1112).
Hasanuddin W.S. (2012: 65) menyatakan bahwa bahasa puisi
(sajak) adalah bahasa yang dihasilkan dari kristalisasi pengalaman, perasaan,
dan pikiran yang menyatu erat dengan obsesi. Kemudian dikonkretkan oleh penyair
dengan menggunakan bahasanya. Bahasa puisi tidak sama, bahasa puisi mempunyai
kekhasan tersendiri, dan pengucapan di dalam puisi tergantung pada penyair yang
membacakannya. Maka dari itu, antara satu puisi dengan puisi yang lain
ditemukan pola pengucapan yang berbeda. Pola perbedaan pengucapan inilah yang
dinamakan dengan bahasa khas puisi. Ciri-ciri puisi konvensional yang telah disepakati oleh
beberapa penyair diantaranya:
a. Kosakata
Kosakata
adalah salah
satu ciri puisi konvensional. kita
dapat mengetahui kecakapan sastrawan (penyair) dalam mempergunakan kata-kata
serta Kehalusan perasaan penyair dalam mempergunakan kata-kata. W.S. Rendra
dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa ia menganjurkan para penyair untuk
selalu melihat arti kata dalam kamus, seperti yang ia lakukan dengan tekun untuk
mendapatkan arti yang setepat-tepatnya. Hal itu tidak berarti bahwa bahasa
serta kata-katanya tidak sama dengan bahasa masyarakat pada umumnya. Seorang
penyair dapat juga mempergunakan kata-kata yang sudah mati, namun harus dapat
menghidupkannya kembali. Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi
efek realistis, sedangkan penggunaan bahasa yang indah dapat memberi efek
romantis (Pradopo, 2012: 51-53).
b.
Pemilihan Kata
Pilihan kata atau diksi seorang penyair menurut Pradopo (2012: 54) menyebutkan
bahwa, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
Menurut Altenbernd (seperti dikutip Pradopo), untuk mendapatkan kepadatan dan
intensitas supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka
penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya. Penciptaan puisi adalah
hal yang paling menitikberatkan pada diksi. Begitu sakralnya puisi, terkadang
penyair akan terus menyempurnakan sebuah puisi dalam beberapa waktu lamanya.
Seperti pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar, pada awalnya ia menggunakan
diksi /dari kumpulan yang terbuang/ kemudian dirubah
menjadi /dari kumpulannya terbuang/ (Damayanti, 2013: 23).
c.
Pengimajian.
Langkah
ketiga dalam menelaah puisi adalah dengan melihat susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Pengimajian dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif),
imaji penglihatan (visual), dan imaji rasa (taktil). Pengimajian
menjadikan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa
yang dialami penyair (Damayanti, 2013: 19).
d.
Rima dan Irama.
Rima atau persamaan bunyi, rima adalah
salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima.
Baik rima maupun irama, keduanya menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang
membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. Puisi
“Doa” karya Chairil Anwar berikut ini adalah salah satu contoh bentuk rima
akhir (Waluyo, 2002: 7). Sedangkan irama dalam kaitannya dengan bahasa puisi
adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa
dengan teratur. Irama adalah ritme, artinya gerakan yang teratur, terus-menerus
tidak putus-putus (Pradopo, 2012: 40). Atau dengan bahasa yang lain, irama
adalah intonasi. Cara yang tepat untuk melatih irama dalam pembacaan puisi,
dengan mendaklamasikannya. Irama puisi bisa dinikmati, jika pembaca puisi bisa
menikmati kata-kata yang ada dalam puisi yang dibacakannya.
e. Gaya
Bahasa.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya
bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan-santun, dan
menarik (Keraf, 1985: 113).
f. Tata
Bahasa.
Tata bahasa Adalah
kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa (Depdiknas, 2008: 1410). Ada
tipe penyair yang tidak patuh pada gramatikal bahasa puisi, bukan karena ia tak
mampu, melainkan karena kebutuhan puisi yang ia tulis agar puisi itu menjadi
estetis. Menurut Hasanuddin W.S. (2012: 115) penyalahgunaan ketatabahasaan
justru disengaja oleh para penyair untuk menimbulkan kesan kepuitisan.
Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi dalam istilah
kesusastraan dikenal sebagai licentia poetica. Yang dimaksud denganlicentia
poetica ialah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari
kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang
dikehendaki (Sudjiman, 1993:18). Ada hubungan antara bahasa puisi dan licentia
poetica. Licentia poetica dapat diartikan sebagai adanya
dispensasi bagi sastrawan (penyair) untuk memilih cara penyampaian pengalaman
batinnya. Penyair dapat memilih cara penyampaian dengan tiga cara, yaitu: pertama,
mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional; kedua,
penyair memanfaatkan potensi bahasa secara kreatif namun masih dalam batas
konvensi bahasa; dan ketiga, penyair menyimpang dari konvensi
bahasa yang berlaku. Apapun cara penyampaian yang dilakukan pada dasarnya
bertujuan memunculkan efek tertentu yang tidak diperoleh dengan cara lainnya.
Dapat saja penyair menggunakan salah satu cara dari ketiga cara tersebut atau
dua dari ketiga cara itu atau bahkan ketiga-tiganya digunakan dalam sebuah
puisi.
2.
Menelaah
Puisi Inkonvensional.
Puisi
inkonvensional tentu tidak sama dengan puisi konvensional. Kalau pola puisi
konvensional dalam bahasa puisi mengikuti aturan, maka puisi inkonvensional
kebalikannya, tidak mengikuti aturan. Konvensi bahasa puisi yang telah
diuraikan di atas adalah bentuk aturan dari puisi konvensional. Puisi
konkret, menurut Elin (seperti dikutip Oktav, Makalah, 2014), adalah puisi yang
menitikberatkan pada bentuk grafis yang disusun mirip dengan gambar. Mantra,
Mbeling, dan Puisi Konkret adalah tiga hal yang masuk dalam kategori puisi
inkonvensional. Jika melihat definisi yang dikemukakan oleh Elin tersebut di
atas, puisi konkret berarti penyempurna dari puisi mantra dan puisi mbeling. Adapun hal-hal yang selalu identik dengan puisi konkret dan memebedakanya
dengan jenis puisi lain adalah:
a.
Bentuk grafis.
Salah satu hal yang sangat ditonjolkan dalam puisi
konkret adalah bentuk grafisnya yang disusun mirip dengan gambar. Hal ini bukan
tanpa maksud, seperti halnya Coulzum Bachri para penyair puisi konkret atau
inkonvensional ini menghadirkan makna yang tersirat dalam bentuk grafis puisi
tersebut.
b.
Unsur
bunyi
Unsur bunyi dalam puisi konkret berupa rima atau
repetisi. Meskipun minim dengan kata, namun puisi konkret tetap menggunakan
kata-kata meskipun dengan jumlah yang sangat terbatas. Dengan kata yang
terbatas ini kita harus jeli melihat rima dan repetisi untuk memperoleh makna
puisi tersebut.
c.
Tipografi.
Tipografi atau susunan baris-baris atau bait-bait adalah
hal yang sangat diperhatikan dalam puisi konkret. Yang biasanya dalam puisi
konkret selalu dihadirkan tipografi yang unik dan menarik dan dalam tipografi
ini umumnya penyair menyiratkan makna dari puisinya. Seperti halnya puisi
Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Coulzum Bachri.
d.
Ejambemen.
Dalam puisi konkret salah satu hal yang sangat
diperhatikan penyair adalah unsur ejambemen atau pemotongan kalimat atau frase
pada akhir baris dan potongan lainya ditekankan kembali pada baris berikutnya.
e.
Parodi
atau unsur kelakar.
Puisi konkret biasanya identik dengan unsur kelakar dan
parodi. Puisi konkret biasanya menggunakan kelakar dan parodi untuk
mengungkapkan makna yang sifatnya santai, dan tak jarang unsur kelakar juga
dipakai untuk mengungkapkan makna yang serius.
C.
Contoh Hasil Analisi Telaah Puisi.
1. Hasil Analisis Puisi Konvensional
Contoh hasil
analisis puisi yang berjudul “TAPI” karya Sutardji Calzoum Bachri:
TAPI
Aku bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih
Aku bawakan resahku padamu
Tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang cuma
Aku bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padamu
Tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahku padamu
Tapi kau bilang kalau
Tanpa aku datang padamu
Wah!
a. Tema
Puisi Tapi karya Sutadji Calzoum
Bachri bertemakan ketuhanan, karena dalam puisi tersebut si penyair rela
membawakan bunga, darah, arwah, bahkan mayat kepada Tuhannya. Kata bunga
seperti halnya ketika orang yang telah meninggal pasti akan diberi bunga, kemudian
arwah merupakan bagian dari roh manusia yang diberikan oleh Tuhan, dan
seterusnya yang semakin menguatkan bahwa puisi tersebut bertema Ketuhanan.
b. Tipografi
Tipografi merupakan penyusunan
baris-baris dalam puisi. Peranan tipografi dalam puisi adalah untuk menampilkan
aspek artistic dan untuk menciptakan nuansa makna tertentu. Selain itu,
tipografi juga berperan untuk menunjukkan adanya loncatan gagasan serta
memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan penyair.
Dalam puisi yang berjudul Tapi karya
Sutardji Calzoum Bachri memiliki delapan bait dan 16 baris. Puisi tersebut satu
baitnya berisi dua baris. Penyair juga menuliskan puisi ini dengan konsisten,
yaitu menempatkan huruf kapital pada setiap awal barisnya. Adanya penulisan
huruf kapital pada puisi ini mungkin hanya sekedar menjaga konsistenitas
penulisan saja, tidak ada makna tersirat dari penyair tentang penulisan huruf
kapital di setiap barisnya. Kemudian pada baris yang bernomor ganjil seperti
baris 1,3,4,7,9,11,13, dan 15 berakhir dengan huruf “u”. Puisi Tapi karya
Sutardji Calzoum Bachri termasuk puisi baru, karena tidak menggunakan pola 444.
Pola 444 yaitu setiap bait terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari 4
suku kata. Tetapi puisi ini menggunakan pola 2-2-2-2-2-2-2-2, jadi satu bait
terdiri dari 2 baris dan tiap barisnya terdapat 4 suku kata. Puisi Tapi karya
Sutardji Calzoum Bachri termasuk dalam puisi prismatis, karena sulit dipahami.
c. Diksi
Dalam puisi Tapi ini Sutardji
Calzoum Bachri menggunakan kata-kata yang sulit dipahami, jadi pembaca harus
berpikir untuk mengetahui makna dari puisi tersebut. Puisi ini juga banyak
menggunakan pengulangan yang sama seperti yang terdapat pada tiap baris pertama
dengan suku kata pertama, kedua, dan keempat, kecuali bait terakhir atau
kedelapan, yaitu “Aku bawakan ...... padamu”. Kemudian pada tiap baris kedua
juga menggunakan pengulangan pada suku kata pertama, kedua, dan ketiga, kecuali
bait terakhir yaitu “Tapi kau bilang ......”. Lalu pada bait terakhir
tidak menggunakan pengulangan yang sama, baik pada suku katanya atau yang
lainnya karena bait terakhir menandakan penegasan atau kalimat penjelas dari
perasaan si penyair.
d. Imaji
Imaji yaitu susunan kata-kata yang
dapat mengungkapkan pengalaman melalui indera manusia, seperti penglihatan,
pendengaran, perasaan. Imaji dibagi menjadi 3 yaitu imaji suara (auditif),
imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktif). Imaji
dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan
seperti apa yang dialami penyair.
Dalam puisi Tapi tidak terdapat
imaji pendengaran, tetapi terdapat imaji penglihatan dan imaji sentuh atau
raba. Jadi penyair mampu untuk membuat pembaca membayangkan bentuk dan
merasakan apa yang ia rasakan. Puisi Tapi mengandung visual dari si penyair,
seperti yang terdapat pada baris pertama. Kelima, dan ke sebelas.
Baris pertama, “Aku bawakan kau
bunga” Pada baris pertama si penyair
membawakan bunga kepada Tuhannya, karena telah memberinya hidup. Bunga tersebut
dapat kita lihat bentuknya yaitu sebuah tanaman yang indah.
Baris kelima, “Aku bawakan darahku
padamu” Pada baris kelima penyair membawakan
darahnya untuk Tuhannya. Darah dapat dilihat bentuknya yaitu cairan merah yang
kental dan berisi oksigen yang terdapat pada tubuh manusia dan hewan.
Barris ke sebelas, “Aku bawakan
mayatku padamu” Dalam
baris ini penyair bahkan rela membawa mayatnya sendiri kepada Tuhannya. Mayat
merupakan orang yang sudah meninggal.
Kemudian dalam puisi Tapi juga
terdapat imaji sentuh atau raba, seperti yang terdapat pada baris kedua,
ketiga, keempat, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kedua
belas, ketiga belas, keempat belas, kelima belas, dan keenam belas.
Baris kedua, “Tapi kau bilang masih” Pada baris ini Tuhan mengatakan
masih, mungkin Tuhan masih memiliki bunga.
Baris ketiga, “Aku bawakan resahku
padamu” Dalam baris ini penyair merasakan
resah kepada Tuhannya.
Baris keempat, “Tapi kau bilang
hanya” Pada baris ini Tuhan menanggapi
bahwa apa hanya itu saja yang penyair bawa untukNya.
Baris keenam, “ Tapi kau bilang
cuma” Dalam baris ini Tuhan juga
menanggapi apa cuma darahnya yang bisa penyair bawakan.
Baris ketujuh, “Aku bawakan mimpiku
padamu” Pada baris ini penyair bertemu
dengan Tuhannya melalui mimpi dalam tidurnya.
Baris kedelapan, “Tapi kau bilang
meski” Dalam baris ini setelah pertemuannya
dengan Tuhan, Tuhan hanya bilang satu kata yaitu meski.
Baris kesembilan, “Aku bawakan
dukaku padamu” Pada baris kesembilan, penyair
merasakan duka terhadap Tuhannya.
Baris ke sepuluh, “Tapi kau bilang
tapi” Pada baris ini, Tuhan menanggapi
dengan berkata tapi, mungkin Tuhan ingin mencari tahu kalimat selanjutya dari
si penyair.
Pada baris kedua belas, “Tapi kau
bilang hampir” Dalam baris kedua belas, Tuhan
mengatakan hampir karena si penyair telah membawakan mayatnya.
Baris ketiga belas, “Aku bawakan
arwahku padamu’ Pada
baris ini, penyair membawakan arwahnya karena tinggal arwahnya saja yang
tersisa.
Baris keempat belas, “Tapi kau
bilang kalau” Dalam baris ini, penyair semakin
bingung dengan tanggapan Tuhannya karena harus mencari tahu apa yang diinginkan
oleh Tuhannya.
Baris kelima belas, “Tanpa aku
datang padamu” Pada baris ini, penyair sepertinya
mulai lelah dengan Tuhannya jadi dia tidak tidak akan mendatangi Tuhannya.
Baris keenam belas, “Wah!” Dalam baris terakhir, Tuhan pun
terkejut dengan ucapan si penyair.
e. Kata Konkret
Kata konkret yaitu kata yang dapat
ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini
berhubungan dengan kiasan atau lambang. Puisi mampu menghidupkan imajinasi
melalui kata konkret secara tepat, tidak mengkabur makna yang hendak
disampaikan. Misalnya kata konkret salju yaitu melambangkan kebekuan cinta,
kehampaan hidup, dll., sedangkan kata konkret “rawa-rawa” dapat melambangkan
tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
Dalam puisi Tapi karya Sutardji
Calzoum Bachri terdapat kata konkret yaitu bunga dapat berupa acara terakhir
dalam proses pemakaman, sesuatu yang indah, dll. Darah dapat melambangkan
kematian, kesakitan, dll. Mimpi dapat melambangkan keinginan manusia, perasaan,
dan pikiran manusia. Duka dapat melambangkan kesedihan. Mayat dapat berupa
manusia yang telah meninggal, tubuh manusia, dll. Arwah dapat melambangkan roh
manusia.
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa disebut juga majas. Macam
majas yaitu metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke,
eufemisme, repetisi, anaphora, pleonasme, antithesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradox.
Dalam puisi Tapi karya Sutardji
Calzoum Bachri memiliki gaya bahasa hiperbola karena terdapat kata yang
melebih-lebihkan, seperti yang terdapat pada baris pertama, kelima, kesebelas,
dan tiga belas, yaitu :
Baris pertama “Aku bawakan bunga
padamu” Tuhan tidak mungkin dapat menerima
bunga di alam nyata karena Tuhan tidak terlihat.
Baris kelima, “Aku bawakan darahku
padamu” Hal yang tidak mungkin kalau darah
dapat dibawa sendiri di hadapan Tuhannya.
Baris kesebelas, “Aku bawakan
mayatku padamu” Jika
membawa mayat, seharusnya terdapat orang banyak. Jika sendirian tentu tidak
akan bisa.
Baris ketiga belas, “Aku bawakan
arwahku padamu” Bahkam
arwah pun akan dibawa sendiri, itu merupakan sebuah kemustahilan karena arwah
tidak bisa di pegang.
g. Rima dan Irama
Rima adalah persamaan bunyi pada
puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Sedangkan irama adalah lagu
kalimat yang digunakan penyair dalam mengapresiasikan puisinya,
Secara umum rima dikenal sebagai
irama atau wirama, yakni pengertian naik turun, panjang pendek, keras lembut
ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Rima adalah istilah lain dari persajakan
atau persamaan bunyi, sedangkan irama sering juga disebut juga dengan ritme
atau tinggi rendah, panjang pendek, keras lembut, atau cepat dan lambatnya kata
atau baris-baris suatu puisi tersebut dibaca. Rima dan irama ini memiliki peran
yang sangat penting karena keduanya sangat berkaitan dengan nada dan suasana
puisi. Berdasarkan jenisnya, rima dibedakan menjadi tiga macam :
1) Berdasarkan bunyinya, terbagi atas
asonasi (rima karena persamaan vokal) dan aliterasi (rima karena persamaan
konsonan),
2) Berdasarkan letak dalam kata, rima
terbagi atas rima mutlak (seluruh vokal dan konsonan sama), rima sempurna
(salah satu suku katanya sama), dan rima tak sempurna (bila dalam salah satu
suku kata hanya vokal atau konsonan saja yang sama),
3) Berdasarkan letaknya dalam
baris, rima terbagi atas rima awal (terdapat pada awal baris), rima tengah,
rima horizontal (terdapat pada baris yang sama), dan rima vertikal (terdapat
pada baris yang berlainan).
Puisi Tapi karya Sutardji
Calzoum Bachri terdapat rima tak sempurna karena terdapat persamaan bunyi pada
bagian suku kata terakhir seperti yang terdapat pada baris ke 13 dan 14 yaitu :
“Aku bawakan arwahku padamu
Tapi kau bilang kalau”
Kemudian puisi Tapi karya Sutardji
Calzoum Bachri juga terdapat irama yaitu pembacaannya pelan dan penuh penjiwaan
sehingga pendengar dapat menikmati dan memahami pesan yang disampaikan si
penyair.
h. Nada
Nada adalah alunan lembut, keras,
rendah atau tinggi yang berhasil daripada berbagai jenis bunyi dalam sebuah
sajak yang berhubung erat dengan perasaan, pemikiran dan sikap penyair yang
diungkapkan puisinya. Nada juga berhubung rapat dengan tema, persoalan, rima,
jenis, dan bentuk sebuah puisi itu. Macam nada dalam puisi :
1) Nada melankolik : murung yang
menggambarkan suasana hati yang sedih. Tekanan suara lebih rendah dan perlahan
serta sesuai untuk puisi yang bertemakan penderitaan, kehampaan, dan kerinduan.
2) Nada romantik : menggambarkan
suasana hati yang tenang dan menyenangkan. Tekanan suara agak tinggi dan
diselangi oleh tekanan suara rendah dan perlahan. Sesuai untuk puisi yang
bertemakan puisi indah dan menggembirakan.
3) Nada patriotik : menggambarkan
suasana hati yang penuh dengan semangat. Tekanan suara lebih tinggi, pantas,
atau cepat. Sesuai untuk puisi yang bertemakan perjuangan, bercita-cita tinggi,
besar, dan mulia.
4) Nada sinis : menggambarkan suasana
hati yang kurang senang. Tekanan suara agak rendah dan perlahan, yaitu sesuai
dengan puisi yang bertemakan hal yang tidak disukai atau kurang disetujui.
5) Nada protes : menggambarkan suasana
hati yang penuh pertentangan atau pemberontakan. Tekanan suara lebih tinggi dan
pantas. Sesuai untuk puisi yang bertemakan ketidakadilan dan kekejaman.
Dalam puisi Tapi karya Sutardji
Calzoum Bachri menggunakan nada protes karena isi puisi tersebut penyair
menuangkan perasaan apa yang dimilikinya untuk Tuhannya seperti bunga, resah,
darah, mimpi, mayat, arwah, namun Tuhan hanya menanggapi dengan kata-kata
singkat dan bernada cuek sehingga penyair merasa tidak dihargai padahal dia
tidak menyadari bahwa dia menunjukkan kesombongannya terhadap Tuhan.
2.
Hasil
Analisis Puisi Inkonvensional.
Berikut
ini adalah hasil analisis puisi inkonvensional Tragedi Winka dan Sihka karya
Sutardi Colzum Bachri.
Tragedi Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
a.
Tema.
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair.
Tema puisi ini adalah perjalanan hidup yang sengsara, penuh lika-liku, dan marabahaya.
Tema puisi ini adalah perjalanan hidup yang sengsara, penuh lika-liku, dan marabahaya.
b.
Diksi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata
yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya
sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya
harus dipilih secermat mungkin. Dalam Tragedi Winka dan Sihka hanya dapat
ditemui empat suku kata: ka, win, sih, dan Ku. Dengan keempat suku kata
tersebut, terbentuklah delapan kata: kawin, winka, sihka, ka, win, sih, dan Ku
yang beberapa di antaranya merupakan kata-kata baru hasil pembebasan kata oleh
Sutardji yang dalam hal ini adalah dengan membiarkan kata membolak-balikkan
dirinya dan alhasil tentu saja tidak akan kita temukan kata tersebut jika kita
mencarinya di kamus dan kata baru tersebut pun memiliki makna tersendiri. Dan
logika pemaknaannya dimungkinkan sebagai berikut: ketika sebuah kata utuh,
sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya pun sempurna. Bila kata-kata
dibalik, maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan arti kata aslinya.
Contohnya, kata Tuhan kalau dibalik menjadi hantu, artinya berlawanan. Tuhan
itu sesembahan manusia, hantu itu musuh manusia. Tuhan itu Maha Pengasih, hantu
itu jahat. Dalam kata “kawin” terkandung konotasi kebahagiaan, sedangkan
“winka” itu mengandung makna kesengsaraan. “Kawin” adalah persatuan, sebaliknya
“winka” adalah perceraian. “Kasih” itu berarti cinta, sedangkan “sihka”
kebencian. Bila “kawin” dan “kasih” menjadi “winka” dan “sihka” itu adalah
tragedi kehidupan. Targedi mulai terjadi ketika “kawin” dan “kasih” yang karena
suatu ujian hidup dsb. tidak bisa dipertahankan lagi hingga berubah menjadi
winka dan sihka (perceraian dan kebencian) dan terpecah menjadi sih – sih, kata
tak bermakna, yang menunjukkan hidup menjadi sia-sia belaka. Cobaan itu kembali
datang yang benar-benar memisahkan antara ka dan sih. Keduanya benar-benar
hidup sendiri yang akhirnya perkawinan tersebut berujung pada sebuah kematian.
c.
Pengimajian.
Imaji, yaitu kata atau
susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan indera penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa
yang dialami penyair.
d.
Kata
Konkret.
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata
harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menuju pada arti
yang menyeluruh. Kata yang diperkonkret erat hubungannya dengan penggunaan
kiasan dan lambang. Hal ini biasanya terbentuk menjadi suatu narasi. Pada puisi
ini, pengulangan kata “kawin” dari baris pertama hingga kelima lalu dilanjutkan
baris selanjutnya masing-masing ka, win, ka, win dan seterusnya menunjukkan
pada kita akan sebuah perjalanan kehidupan yang berawal dari sebuah perkawinan.
e.
Bahasa
Figuratif.
Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yaitu dengan secara tidak
langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna
lambang. Namun dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka ini tampaknya tidaklah
mengandung bahasa figuratif. Sebaliknya, untuk mengatakan sesuatu dengan cara
yang tidak biasa, pengarang membolak-balikkan kata sehingga tersiratlah suatu
makna tersendiri sesuai dengan yang diungkapkan oleh pengarang sendiri bahwa ia
ingin “membebaskan kata”. Menurutnya, kata-kata dapat menciptakan, menemukan
kemauan, dan bermain dengan dirinya sendiri dan terciptalah suatu kreativitas,
salah satu caranya ya dengan membalik suatu kata.
f. Verifikasi terbagi menjadi rima, ritma, dan metrum.
1)
Rima adalah persamaan
bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima terdiri
dari aliterasi, asonansi, rima berangkai, berselang, berpeluk, dan sebagainya.
Namun tampaknya pada puisi karya Sutardji ini tidaklah mengandung rima, baik itu rima aliterasi, asonansi, maupun disonansi karena setiap baris dalam puisi ini hanya terdiri dari satu kata saja.
Namun tampaknya pada puisi karya Sutardji ini tidaklah mengandung rima, baik itu rima aliterasi, asonansi, maupun disonansi karena setiap baris dalam puisi ini hanya terdiri dari satu kata saja.
2)
Ritma sangat berhubungan
dengan bunyi irama dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa,
dan kalimat. Jika dihubungkan dengan pengertian di atas, maka puisi Tragedi
Winka dan Sihka ini banyak mengandung ritma dan irama, yaitu pengulangan kata
“kawin” lima kali berturut-turut masing-masing pada baris pertama hingga baris
kelima, “sih” pada baris ke-31 hingga 36, dan “winka” pada baris ke-15 hingga
17, kata “sihka” pada baris ke-18 hingga 20, serta irama “ka” di setiap akhir
baris ke-15 hingga 20.
3)
Metrum yaitu berupa
pengulangan tekanan yang tetap.
g.
Tipografi
Tipografi merupakan
aspek bentuk visual puisi yang berkaitan dengan tata hubungan dan tata baris.
Halaman tidak dipenuhi kata-kata hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Tipografi puisi Tragedi Winka dan Sihka ini adalah bentuk
zig-zag. Bentuk zig-zag tersebut merupakan tanda ikonik yang menggambarkan
jalan yang berlika-liku. Dalam puisi ini juga terlihat adanya gelombang sangat
tajam, tidak melengkung tapi langsung turun miring kekanan dan kekiri dengan
begitu tajamnya. Maka, dengan tipografi demikian tersebut, puisi ini memiliki
makna perjalanan sebuah perkawinan yang tidak mulus, tetapi penuh dengan
liku-liku dan marabahaya. Kehidupan dalam puisi ini sangat tragis dan jika
jatuh dalam sebuah masalah maka akan sangat jatuh dengan begitu tajamnya. Jika
dilihat dari tingkatan kemiringannya, sangat terlihat bahwa masalah yang
dialami tokoh semakin lama semakin sulit. Bentuk gelombang tajam ini menunjukkan
pasang surutnya kehidupan.
h.
Nada
dan Suasana.
Nada yaitu sikap penyair kepada pembaca, sedangkan suasana
adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis
yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling
berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada dan
suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah kecarut-marutan kehidupan dan
perasaan serta kesengsaraan.
i.
Amanat.
Amanat yang
dapat dipetik dari puisi Tragedi Winka dan Sihka yaitu bahwa kehidupan ini
tidak akan pernah sama. Roda akan selalu berputar, terkadang berada diatas
terkadang di bawah. Kehidupan ini tidak akan selalu senang tapi juga susah, dan
bergantung bagaimana cara kita menyikapinya.
Komentar
Posting Komentar