Ringkasan Buku Pendidikan yang Memiskinkan
Tugas
Individu Meringkas Buku
Nama: Mastiah
Mata
Kuliah: Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Rizqi Azhari Rahim, S.Pd.,
M.Pd.
Pendidikan yang Memiskinkan
BAHASA
1 SEMESTER 4
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS
MUSLIM MAROS
2018
IDENTITAS
BUKU
Judul buku :
pendidikan yang memiskinkan
Penulis : Prof.Dr.
Darmaningtyas
Penerbit : Intrans
Publishing
Kota terbit :
Malang, Jawa Timur
Tahun terbit :
Agustus, 2015
Jumlah Halaman :
312
|
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan rangkuman buku “Pendidikan yang Memiskinkan” Ucapan
terimakasih juga tak lupa saya haturkan kepada Ibu Rizqi Azhari Rahim, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen mata kuliah Telaah
Kurikulum Dan Bahan Ajar Bahasa Indonesia,
yang telah memberikan tugas ini kepada saya. meskipun dalam merangkum buku ini saya menemui
kendala dan halangan. Namun dengan segala upaya, saya berusaha menyajikan
rangkuman ini dengan sebaik mungkin
Secara umum
tujuan penulisan rangkuman ini adalah untuk merangkum inti sari dari buku
“Pendidikan yang Memiskinkan” yang secara garis besar buku ini akan membuka
mata kita mengenai kusutnya pendidikan Indonesia. Dan pendidikan Indonesia yang
semakin memiskinkan masyarakat.
Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami dan bermanfaat bagi
segenap pembaca. Utamanya bagi kami yang
telah menyusun makalah
ini. Dan sekiranya pembaca sekalian menemukan kesalahan, sekiranya untuk
menyampaikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun.
Maros, 30 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR
ISI
IDENTITAS BUKU
KATA
PENGANTAR
BAB
I Makna Pendidikan
1. Wahana Indiktrinasi Pendidikan 1
2. Penopang Industri Tekstil Dan
Pariwisata 2
3. Proses Penyengsaraan Masnyarakat 3
BAB
II ganti menteri
ganti kebijakan
1. Birokrasi Perizinan 5
2. Diskriminasi Sekolah Swasta 6
3. Menghapuskan Ujian Negara 7
4. Membatasi Akses Ke PTN 7
5. Kebijakan Yang Memicu Konflik 8
BAB
III kurikulum yang
menghapuskan rasa seni
1. Kurikulum Yang Indoktrinatif 10
2. Kurikulum Minus Seni 11
3. Muatan Lokal 12
BAB IV Matinya
profesi guru
1. Gaji Rendah Dan Beban Utang 13
2. Keterbatasan Akses Informasi Dan Ilmu Pengetahuan 14
3. Penyetaraan Yang Tidak Setara 15
4. Di Bawah Cengkeraman Birokrasi 16
5. Perubahan Sosok Guru
16
6. Kurangi Beban Ideologis
17
7. Beda Guru, Beda Buruh
18
BAB V Buku yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat
1. Membungkam Daya Kritis 19
2. Kertas Sebagai Kebutuhan Pokok 19
3. Bisnis Buku Pelajaran
20
BAB VI Wajib Belajar: Antara Tuntutan Kualitas dan Kuantitas
1. Belajar Pada Program KB 21
2. Wajib Belajar Bukan Wajib Lulus 22
3. Mensubsidi Yang Mampu 22
4. Memberi Makna Pada Aksara 23
BAB VII Antara Ungulan dan Unggul
1. Demam Unggulan 24
2. Dominasi Penguasa 25
BAB VII Komersialisasi dan Komodifikasi Pendidikan
1. Study Tour Sebagai Jaringan Bisnis 27
2. Sekolah Sebagai Pasa 28
3. Akar Masalah 29
BAB IX Kampus-kampus yang Terpinggirkan
1. Proses Marginalisasi Kampus 30
2. Tersudutnya Mahasiswa 31
3. Belenggu Di Kampus Biru 34
BAB X Disorientasi Perguruan Tinggi Kita
1. KKN Penting Tapi Tidak Perlu 35
2. Metamorfose IKIP Menjadi Universitas 37
BAB XI Kebijakan Sistemik Mematikan Sekolah Swasta
Karakteristik Sekolah Swasta
1. Pergeseran Pandangan: Kemunduran Bangsa 39
2. Pengakuan Sekolah Swasta 39
3. Dasar Pendidikan Sekolah Swasta 40
4. Masalah Pendanaan 40
5. Otonomi Sekolah Swasta 41
6. Dukungan Pemerintah 41
TANGGAPAN BUKU
BAB
I
Makna
Pendidikan
“Pendidikan adalah
usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih
baik” demikian pengertian pendidikan menurut Prof.Dr. Imam Barnadib.
pengertian pendidikan dalam Ketentuan Umum UU pasal 1 yat
(1) menyebutkan: “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual keagamaan, pengembangan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
“pintar dan mandiri” itu adalah makna pendidikan yang di
tekankan penulis. Penulis juga meyakini bahwa pendidikan merupakan sarana yang
dapat membebaskan seseorang dari kebodoha, kemiskinan, keterbelakangan,
keterbelenguan, penderitaan, dan penipuan yang dilakukan oleh orang lain. orang
yang tidak berpendidikan mudah ditipuoleh orang lain yang pintar. Tapi orang
yang pintar selalu kritis terhadap mereka yang ingin menipunya.
Seiring dengan
perjalanan perpolitikan di indonesia beban berat harus dirasakan pendidikan
nasional, pendidikan nasional bergeser dari perananya sebagai pencerdasan
kehidupan bangsa, menjadi instrumen politik pengusa serta proses agamanisasi
masyarakat. Beban tersebut bersifat kulitatif maupun kuantitatif dan mencakup
berbagai dimensi(ideologi,politik,agama,ekonomi,soaial,budayadan lain-lain).
1.Wahana Indoktrinasi Ideologi
Beban ideologi politik dimulai dengan masuknya pelajaran
Agama ke dalam sekolah sebagai mata pelajaran wajib nomor satu untuk
mengantikan mata pelajaran budi pekerti. Pendidikan agama menjadi pelajaran
wajib dari SD-PT mengantikan pelajaran budi pekerti menandai adanya perubahan
politik pendidikan nasional dari yang bersifat inklusif menjadi cenderung
eksklusif. Pendidikan budi pekerti, sebagai pelajaran moral universal sifatnya
amat inklusif, terbuka bagi semua murid atau mahasiswa tanpa membedakan latar
belakang agama,suku, dan ras. Sedangkan pelajaran agama bersifat eksklusif
karena khusus bagi pemeluk agama yang bersangkutan. Pada era 1970-an tidak
jarang murid yang non-muslim harus keluar kelas karena pelajaran agama ini.
Beban ideologi
terasa lagi ketika pelajaran civic atau
kewarganegaraan menjadi PMP (pendidikan moral pancasila) dalam hal ini
implikasi politik sangat terasa. Pelajaran kewarganegaraan yang menumbuhkan
sikap kritis terhadap setiap murid tentu hal ini akan sangat merepotkan
pemerintah jika semua warga memiliki tuntutan kritis, dari sinilah lahirlah PMP
yang ditekankan hanya bagaimana menjadi warga negara yang patuh pada ideologi
negara tapi tidak pernah mengenal hak-haknya sebagai warga negara.
selain PMP mata
pelajaran sejarah juga amat kuat pada masa orde baru. Yang menampilkan penguasa
orde baru sebagai hero. Buku-buku sejarah lebih banyak diisi kampanye anti
paham komunisme. Hal ini amat logis karena orde baru berkuasa setelah berhasil
menghancurkan kekuatan PKI (partai komunis indonesia).
Penguasaan
institusi pendidikan sebagai wahana indoktrinasi ideologi dan politik orde baru
tidak hanya berhenti pada penggantia pelajaran budi pekerti dengan pelajaran
agama, materi pelajaran civic menjadi
PMP, merubah substansi pelajaran sejarah nasional, menambah pelajaran PSPB,
atau penyeragaman pakaian secara nasional, tapi juga penguasaan gurunya.
Organisasi guru dalam hal ini PGRI yang sejatinya organisasi profesi menjadi
salah satu organisasi yang mendukung partai penguasa (Golkar). Penguasaan guru
sebagai media indiktrinasi berlangsung sangat efektif, sehingga dalam dua dekade
institusi pendidikan telah menjadi mendukung status quo.
Jika dirunut ada
tiga institusi yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kemerosotan
pendidikan pada masa orba yaitu militer(angkatan darat), Golkar, dan PGRI.
Militer dan golkar bertanggung jawab karna keduanya penopang utama politik orde
baru sedang PGRI sebagai institusi yang seharusnya melindungi guru justru
mencederai jiwa guru.
2.Penopang
indutri tekstil dan pariwisata.
Bersama dengan kebijakan penyeragaamn pakaian sekolah,
pemerintah pada dekade 1970-an juga sedang giat mendorong tumbuhnya industri
tekstil dan pariwisata. Konsekwensinya adalah perlunya pangsa pasar tetap yang
dapat menyerap produk mereka secara massif.
Perbedaan cara
masuk antara industri tekstil dan pariwisata adalah industri tekstil masuk
melalui keputusan menteri tentang ketentuan seragam nasional sedang industri
pariwisata masuk melalui guru dengan cara mengharuskan murid mengikuti study
tour.
Industri pariwisata masuk secara halus melalui para
penatar p4 dan guru sejarah yang selalu menekankan pentingnya wawasan kebangsaan dan wawasan nasional, yang
salah satunya dapat dicapai dengan mengenali tempat-tempat bersejarah.
Ditekankan arti penting program study tour untuk membangkitkan wawasan murid
akan tempat bersejarah di negri ini.
Atas dasar argumen
agar murid tidak buta pengalaman terhadap tempat-tempat bersejarah tersebut,
sekolah mengadakan program study tour . dalam program tersebut guru berperan
sebagai pendamping, sehingga mereka tidak dikenakan pungtan. Dengan kata lain,
program study tour itu telah memberikan kesempatan guru untuk ikut piknik
gratis.
Masuknya industri
tekstil ke dalam sekolah secara langsung memnberikan beban tambahan kepada
institusi pendidikan nasional, sebab pendidikan nasional mulai tercemar polusi
sosial. Setiap tahun ajaran baru para pemimpin sekolah membuat keputusan agar
semua murid membeli kain seragamserta mengadakan study tour ke daerah tujuan
wisata tertentu.
Pada perkembangan
berikutnya bukan hanya industri tekstil dan pariwisata yang masuk ke industri
pendidikan, tapi industri asuransi, percetakan, penerbitan buku,sablon, alat
olahraga, dan sebagainya, yang kemudian meruntuhkan kewibawaan guru sendiri,
karena para guru ini terlibat langsung dalam industri yang di tawarkan kepada
murid. Masuknya berbagai produk di sekolah ini justru akan menumbang percepatan
pemiskinan di masyarakat, ketida moda transportasi masyarakat petani yang
berupa tanah dan ternak dijual untuk bersekolah, tapi ketika lulus hanya
mengangur karna tidak mampu terserap oleh pasar tenaga kerja di sektor
industri, sementara mau bertan juga sudah tidak berminat dan tidak memiliki
tanah lagi.
3.
Proses penyengsaraan masyarakat
Masukya produk industri ke dalam institusi pendidikan
juga telah berdampak kepada pendidikan nasional menjadi sangat hiruk penuh
dengan kegiatan bisnis, bukan lagi suasana ang menyegarkan dan menyenangkan.
Hiruk pikuk sekolah yang seperti pasar dampaknya langsung
dirasakan oleh masyarakat. Pada saat akhir tahun ajaran, orang tua disibukan
untuk mencari uang untuk ikut ujian dan uang untuk ulangan umum, uang study
tour, uang perpisahan dan sejenisnya. Sekolah pun membuat ancaman “barang siapa
tidak ikut study tour tidak boleh ikut ulangan umum atau rapornya tidak
dibagikan”. “barang siapa yag belum melunasi uang SPP sampai bulan juni, tidak
boleh ikut ulangan umum, dan barang siapa yang belum melunasi uang ikut
rapornya tidak dibagikan.bagi orang tua yang mampu jelas tidak ada masalah,
tapi bagi orang tua yang tidak mampu melihat anaknya tidak bisa mengikuti
ulangan, rasanya seperti situsuk pisau tajam.
Jika kita jeli melihat media massa, terutama media massa
cetak,setiap menjelang tutup tahun dan setiap tahun ajaran baru kantor
pengadaian-pengadaian diseluruh begri selalu dipadati oleh masyarakat yang
hendak mengadaikan barang-barangnya guna menyekolahkan anaknya.Perjuangan berat
mengadaikan barang atau menjual harta benda untuk memberesi uang sekolah anak
mereka meski setelah lulus sekolah tidak ada jaminan mengembalikan harta benda
yang telah digadaikan, hal demikian telah merata diseluruh indonesia dan
terjadi setiap tatun. Namun meski realitas ekonomi, sosial, dan politik
pendidikan demikian buruk mengapa masyarakat masih mempercayainya? Hal ini
dapat terjawb jika kita melihat pada masa kolonial dimana pendidikn merupakan
barang mewah, dan merupakan jalur paling efektif untuk melakukan mobilitas
vertikal.
Pada masa kolonial pendidikan jauh bermutu karna
diberikan oleh guru yang profesinal, juga tidak banyak beban ideologis dan
politik yang dititipkan oleh pemerintah kolonial kepada institusi
pendidikan.jika pendidikan itu di kembangkan pada fungsi awalnya, yaitu sebagai
institusi sunguh-sunguh hanya berfungsi sebagai institusi pencerdasan,
pendewasaan, dan pemandirian masyarakat tentu hasilnya juga orang-orang cerdas,
dewasa, mandiri, soliter, dan toleran terhadap sesama serta bertangguangjawab
atas kelangsungan hidup bangsa dan negaranya.
BAB II
Ganti Menteri Ganti Kebijakan
Pendidikan diwarnai dengan terlalu seringanya pergantian
pejabat yang kemudian diikuti dengan pergantian kebijakan. Selama perjalanan
waktu sampai dengan usia ke-69 tahun (2014), indonesia telah memiliki menteri
paling tidak 27 menteri pendidikan dan kebudayaan dan lima menteri pendidikan tinggi,
atau kalau direratakan setiap 2,2 tahun terjadi pergantian menteri pendidikan
baru.
Menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan (P dan PK)
yang melakukan kebijakan yang mendasar dan dampaknya masih dirasa sampai
sekarang barang kali adalah Mr. Soewandi yang melakukan kebijakan mengenai
perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia
yang disebut dengan ejaan soewandi yang menggantikan ejaan van ophuijsen
yang berlaku sejak 1901. Memasuki 1960-an muncul kebijakan memisahkan
pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar, yang dilakukan
oleh menteri Thoji Hadiwidjaya.
Kebijakan lain yang cukup berpengaruh adalah kebijakan Daoed Joesoef yang
mengubah kalender pendidikan dari januari-desember menjadi juli-juni. Kebijakan
lain Daoed Joesoef adalah menghapuskan libur puasa satu bulan menjadi tiga hari
di awal puasa. Kebijakan ini tentu menimbulkan reaksi keras, tapi kebijakan
tetap berjalan sampai sekarang. Ini menunjukan bahwa kebijakan menteri Daoed
Joesoef tersebur memiliki landasan rasionalitas dan empiris yang kuat
1.
Birokrasi Perizinan
Menteri P dan PK Daoed Joesoef kemudian digantikan oleh
Nugroho Notosusanto, sejarawan sekaligus sastrawan yang dekat dengan militer.
Nugroho melahirkan kurikulum baru yang disebut kurkulum 1984yang menimbulkan kontroversi.
Pada masa menteri Nugroho, kebijakan akreditasi sekolah dimulai,. Kebijakan
akreditasi inilah yang kemudian melahirkan stratifikasi sekolah swasta
berdasarkan status akreditasinya.
Kebijakan
akreditasi ini melahirkan status sosial sekolah dibagi menjadi empat. Yaitu
“tercatat” sekolah ini baru memperoleh izin operasional dan belum memperoleh
izin akreditasi. Satu tingkat diatas tercatat adalah “terdaftar” golongan ini
secara administratif telah memenuhi syarat, hanya saja banyak mengalami kekurangan
sehingga belum diberi hak untuk memnyelenggarakan EBTA atau EBTANAS. Satu
tingkat di atas terdaftar adalah “Diakui” golongan ini diperbolehkan
menyelenggarakan EBTA dan EBTANAS sendiri, tapi hanya untuk dirinya sendiri
tidak boleh menyertakan swasta lain. sedang predikat terbaik adalah “Disamakan”
sekolah dengan status ini tidak hanya bisa menyelenggarakan EBTA dan EBTANAS
sendiri tapi juga bisa menyelenggarakan ebta untuk sekolah “tercatat” dan
“terdaftar”.
Dampak dari
kebijakan tersebut adalah tertutupnya peluang bagi kelompok masyarakat yang
ingin mengembangkan sekolah. Sebelumnya pendirian sekolah swasta didasarkan
pada kebutuhan masyarakat dan kemampuan memberikan pelayanan pendidikan, izin
seringkali diurus belakangan yang pertama adalah pelayanan pendidikan. Tetapi
setelah keluarnya peraturan tersebutyang didahulukan adalah mengurusi izin.
Semestinya, izin opersional sekolah itu cukup terbit satu kali saja untuk
selamanya, selama sekolah yang bersangkutan tidak merugikan masyarakat. Selama
memenuhi standar nasional pendidikan dan mematuhi regulasi yang berlaku, tidak
perlu perpanjangan izin operasional. Perpanjangan operasional cenderung menjadi
alat kontril birokrasi dan sekaligus membuka celah resmi untuk korupsi.
2.
Diskriminasi Sekolah Swasta
Perlakuan deskriminatif terhadap sekolah swasta itu
sebetulnya berangkat dari ketidakpahaman para birokrat pendidikan terhadap
peran yang dimainkan oleh sekolah-sekolah swasta dalam pencerdasan bangsa.
Menurut sejarah, sekolah swasta itu tumbuh untuk mengisi kekosongan peran
pencerdasan yang tidak dilakukan oleh pemerintah karena keterbatasan, baik soal
dana, tenaga guru, maupun kemampuan pengelolaan.
Pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono(SBY), dikeluarkan peraturan pemerintah(PP)
No. 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negri
sipil. Pasal 2 PP tersebut berbunyi: “pengangkatan
tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil berdasarkan peraturan pemerintah
ini, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi
pemerintah”. PP inilah yang kemudian dijadikan dasar menteri untuk menarik
guru-guru negri yang di perbantukan dari sekolah-sekolah swasta. Selain itu,
mantan guru honorer yang sudah terangkat menjadi PNS tidak bisa lagi mengajar
di sekolah yang sebelumnya ia mengajar sebagi guru honorer.
3.
Menghapuskan Ujian Negara
Orde baru melakukan kebijakan dalam bidang pendidikan
dengan mengganti kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975. Perubahan ini diikuti
dengan perubahan evaluasi sistem belajar dari ujian negara menjadi ujian
sekolah. Adanya perubahan sistem evaluasi ini menjadikan proses kelulusan lebih
mudah, karna dilakukan oleh guru sendiri.
Ujian negara masa SD-SMA masa dulu yang ketat menjadi
penyokong wakil presiden (2004-2009) Jusuf Kalla (JK) untuk menghidupkan lagi
ujian negara. Namun demikian keadaan sosial yang sangat berbeda dengan dekade
1970-an menjadikan proses ujian nasional mengalami banyak kendala seperti
kebocoran soal dan nilai EBTANAS murni (NEM).
NEM memang bukanlah segalanya , hanya parameter yang
paling mudah untuk melihat target yang ingin dicapai. Namun demikian parameter
ini masih banyak kelemahan. Seperti kreatifitas, kemandirian, dan kepribadian
murid sama sekali tidak terlihat dalam NEM. Artinya NEM bukan lah segalanya,
tapi dapat menjadi salah satu parameterkualitas pendidikan nasional.
4.
Membatasi Akses ke PTN
Perguruan tinggi (PT) merupakan subsektor pendidikan
nasional yang banyak mengalami perubahan regulasi selama orde baru, baik
kelembagaan, proses rekrutmen mahasiswa baru, maupun tatanan akademiknya.
Sistem seleksi penerimaan mahasiswa di PTN masih menggunakan seleksi kolektif
di masing-masing PTN.
Ada lima PTN yang
melakukan penerimaan calon mahasiswa baru secara kolektif, yakni Universitas
Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung
(ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (UNAIR). Kelima PTN tersebut melakukan
kerjasama yang disebut SKALU (sekretariat kerjasama antar lima universita).
yang kemudian disempurnakan menteri Daoed Joesoef menjadi proyek perintis (PP) yang terbagi
dalam empat kategori, yakni: PP I yang mencakup sepuluh PTN terkemuka seperti,
USU, UI, IPB,ITB, UNPAD, UGM, UNDIP, ITS, UNAIR, UNBRAW. Selanjutnya PP III
yang meliputi Universitas yang memiliki fakultas keguruan seperti Universitas
Andalas, Universitas Semarang, Universitas Riau, DLL. Sedangkan PP IV khusus
untuk IKIP. Untuk PP II saat itu khusus untuk PTN yang menerima mahasiswa
berdasarkan penelusuran akademik di SMA.
Konsekwensi dari
seleksi masuk yang berbeda adalah banyaknya bangku kosong di PP III maupun PP
IV karna banyak MABA yang mendaftar di tiga PTN sekaligus dan tentu ketika
lulus mereka akan memilih PPI, masalah lain adalah beluma ada pembatasan usia
pada masa itu.
Menteri Daoed
Joesoef selain memperkenalkan konsep perintis untuk masuk ke PTN, ia juga
memperkenalkan sisten kredit semester (SKS). Penerapan SKS ini juga disertai
dengan penghapusan gelar sarjana muda yang ditempuh seorang mahasiswa sebelum
mendapatkan gelar saraja. Akses dari kebijakan ini adalah mempersulit golongan
miskin untuk memperoleh pendidikan tinggi.
Kebijakan Daoed
yang amat kontroversial adalah masalah pemberlakuan (NKK) normalisasi kehidupan
kampus dan (BKK) badan koordinasi kehidupan kampus), tujuan kebijakan ini adalah
mengembalikan kehidupan kampus sebagai kegiatan ilmiah bukan kegiatan politik
praktis.
Kebijakan lainya
dilakukan oleh menteri Nugroho, yang mengubah akademi menjadi sekolah tinggi
atau institut, misalnya ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), ASTI (Akademi Seni
Tari Indonesia), AMI (Akademi Musik Indonesia) di yogyakarta digabung menjadi
satu bernama ISI (Institut Seni Indonesia). Standar yang dipakaipun menjadi
berbeda. Ketika masih akademi standar kelulusanya adalah karya yang dihasilkan,
dan setelah berbentuk institut kelulusanya dicapai melalui SKS.
5.
Kebijakan Yang Memicu Konflik
Salah satu kebijakan menteri Daoed Joesoef yang
menimbulkan kontroversial adalah menetapkan “bulan puasa sebagai waktu
belajar”. Kontroversi tersebut ketika MUI menghimbau Departemen Pendidikan Dan
Kebudayan untuk meninjau kembali kebijakan libur puasa itu. Suasana itu semakin
disemarakan oleh menteri Nugroho Notosuseno yang menggantikan menteri Daoed
dengan memberlakukan kebijakan berupa keharusan
untuk setiap murid baru untuk menandatangani surat pernyataan mengenai
pendidikan agama yang akan diikuti.
Kedua kebijakan
tersebut merupakan kebijakan sensitif sehingga cenderung menimbulkan reaksi
spontan di masyarakat. Kebijakan lain yang mengalami dinamika pasang surut dan
menimbulkan kontroversi adalah mengenai pakaian berjilbab bagi siswi beragama
islam.
Sampai akhir dekade 1980-an pemakaian jilbab dilarang
dikenakan disekolah. Baru setelah menteri Wardiman Djojonegoro menjabat
pemakaian jilbab berlaku secara efektif dan kemudian diikuti dengan pengumuman
kepada publik bahwa jilabab sah menjadi bentuk seragam sekolah yang diumumkan
oleh Zainal Arifin Akhmadi.
Tidak bisa
dipungkiri pula bahwa setiap kebijakan tentu terdapat dampak laten, efek dari
kebijakan tersebut sejumlah murid perempuan menuturkan bahwa guru agamanya
memberikan nilai rendah untuk murid yang tidak berjilbab. Sehingga siswi
berjilbab itu bukan semata-mata karena menjalankan akidah agama, tapi karena
takut memperoleh nilai jelek. Ironisnya, pemandangan semua siswi muslim
berjilbab itu justru ada di sekolah negeri, yang selalu menjadi pilihan orang
tua dalam mencari sekolah plural dari agama, etnis, suku, dan sosialnya.
Ketentuan pakaian
seragam itu sendiri didasarkan pada SK Dirjen Dikdasmen No.052/C/Kep./D.82 yang
disusul dengan peraturan pelaksanaan No. 18306/C/D.83 tetang pedoman Pakaian
Seragam Anak Sekolah (PSAS). Salah satu poin dalam SK tersebut yang kemudian menjadi
dasar bagi para kepala sekolah (negeri) untuk mengambil kebijakan di tingkat
sekolah adalah poin yang menyatakan “pelaksanaan
pengaturan pakaian seragam do sekolah- sekolah, bagi beberapa siswa yang
melakkan penyimpangan karena keyakinan agamanya (bila ada) diberlakukan secara
persuasif, edukatif, dan manusiawi”
Menurut Alwi
Alatas (1984-1985) adalah penegakan aturan seragam sekolah yang dlakukan SK
Dirjen Dikdasmen No. 52/C./Kep/D.82, sehingga selama dua tahun berikutnya
(1986-1987) kasus pelanggaran hijab sepi. Karena tidak ada siswa yang berani
melanggar aturan tentang seragam sekolah. Namun antara 1988-1991 , kasus
pelanggaran jilbab kembali marak terjadi. Kejadian iniun menarik perhatian
masyarakat luas hingga pers. Pada tingkat politik, dilakukan pembicaraan antara
MUI dan departemen P dan K yang diwakili Fuad Hassan serta Hasan Walinono
(Dikdasmen). Kedua belah pihak menyepakati keputusan pada tanggal 16 februari
1991, SK sragam sekolah yang baru yaitu SK 100/C/Kep/D/1991 ditandatangani
secara resmi setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak.
Kebijakan-kebijakan
tersebut menjadi cermin kebijakan pendidikan
nasional yang tidak terlepas dari dimensi politis. Kekuatan politik yang
dominan selalu mempengaruhi arah kebijakan pendidikan nasional antara kearah
kebangsaan atau cenderung agamis semua amat tergantung pada kekuatan politik
yang dominan.
BAB III
Kurikulum Yang Menghapuskan Rasa Seni
Kurikukum secara
genetik dapat diartikan sebagai jumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid
untuk memperoleh ijazah (Oemar Hamalik 2011). Sejarah kurikulum baru dimulai
tahun 1947 ketika departemen pengajaran, pendidikan dan kebudayaan membuat
rencana pelajaran. Namun karena situasi perpolitikan dengan perang revolusi ,
maka rencana pelajaran 1947 baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu
rencana pelajaran 1947 sering disebut kurikulum 1950.
Pada awal
kemerdekaan pembelajaran lebih ditekankan pada meningkatkan kesadaran bernegara
dan bermasyarakat. Oleh sebab itu pendidikan jasmani, pendidikan watak, dan
pendidikan seni diutamakan.
Susunan rencama
pembelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu mata
pelajaran dan jam pelajaranya, serta garis-garis besar pengajaranya. Mata
pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari karena dimaksudkan untuk
membangkitkan semangat juang masyarakat. Perhatian pada kesenian dan pendidikan
jasmani sangat tinggi karna keduanya dianggap sebagai penanaman watak pada anak
secara lebih efektif.
1.
Kurikulum Yang Indokrinatif
Kurikulim 1975 yang belum genap berusia sudah diubah
ketika menteri pendidikan dan kebudayaan dijabat oleh Nugroho Notosuseno,
diganti dengan kurikulum 1984. Hal yang menonjol dalam kurikulum 1984 adalah
dimasukanya pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) sebagai mata
pelajaran wajib dari TL-SMTA,
Tapi menteri baru ini menimbulkan kontroversi karna dinilai tumpang tindih dengan IPS, Sejarah
Nasional dan PMP semuanya membicarakan kepahlawanan nasional, dan untuk PSPB
perbincangan mengenai pahlawan didominasi oleh pahlawan bersenjata, bukan
pahlawan pemikir founding
fathers/mothers.
Pada tanggal 3 juni 1985, menteri Nugroho meninggal dunia
karena serangan jantung. Dan Presiden Soeharto waktu itu melantik Fuad Hassan,
menjadi menteri pendidikan dan kebudayan. Menteri Fuad berusaha menggabungkan
materi PSPB ke dalam Sejarah Nasional.
Hal lain yang dicatat oleh menteri Fuad Hassan adalah,
membuka diri terhadap masukan dari luar. Sehingga pada saat itu dibentuk Forum
Pendidikan Nasional yang terdiri dari para ahli dan orang yang peduli pada
pendidikan nasional. Forum ini hanya berfungsi memberikan masukan pada Menteri
Pendidikan. Menteri Fuad tidak banyak mengimprovisasi kebikakan, tapi membuat
pendasaran yang kuat dengan menyusun Undang-undang tentang pendidikan yang
dikenal dengan sebutan UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional.
2.
Kurikulum Minus Seni
Berrbeda dengan kurikulum 1984 yang prosesnya amat cepat,
kurikulum 1994 dipersiapkan cukup lama karena dimulai sejak Fuad Hassan
menjabat (30 juli 1985). Asumsinya kurikulum 1994 lebih baik dari kurikulum
sebelumnya. Hal yang menonjol pada kurikulum 1994 adalah pelajaran Matematika
serta Bahasa (Indonesia&Inggris) dalam seluruh jenjang pendidikan. Tapi
terlalu minimnya pelajaran seni, baik seni rupa, seni musik, seni kriya, dan
seni-seni lainya.
Materi pelajaran
PMP juga nerubah menjadi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. Materi PSPB
pada kurikulum sebelumnya dihapuskan.
Menteri Wardiman
Djojonegoro yang menaungi kurikulum 1994 juga mengubah sistem semester menjadi
catur wulan, dan menganti nama SMP menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama).
Kurikulum 1994
dianggap sebagai kurikulum yang menghapuskan rasa seni dari dunia pendidikan
formal, sehingga dapat dikatakan sebagai proses pemiskinan cita rasa seni kita
sebagai manusia karena manusia direduksi hanya untuk menguasai teknologi. Para
penyusun kurikulumtampaknya lupa bahwa teknologi hanya dapat berkembang bila
bila muncul kreatifitas dan inovasi masyarakat. Sedangkan kreatifitas dan
inovasi itu dapat terbangun melalui seni dan budaya. Kehidupan manusia tanpa
seni juga akan membuatnya terasing dan merasa selalu ada yang hilang dalam
hidupnya.
Dengan jam
pelajaran seni yang amat terbatas, bagaimana mungkin mengajarkan anak untuk
menggambar secara tuntas, menyanyi secara baik, atau bahkan mengebali
huruf-huruf balok. Wajar bila kemudian bangsa indonesia kurang Indonesia kurang
mengapresiasi karya-karya seni yang bermutu, karena ruang untuk mengapresiasi
seni memang tidak ada.
Kondisi yang amat
pelik juga tidak terlepas dari cara pandang ahli pendidikan yang melihat seni
terpisah dari kehidupan sehari-hari, dan dianggap sebagai habitat tersendiri
yang harus mendapat tempat khusus pula.
Jauh sebelum
munculnya kurikulum 1994, pelajaran seni disekolah sudah mendapatkan kritik
tajam Prof. Dieter Meck Dosen IKIP bandung. Ia berpendapat bahwa pelajaran seni
di SD menghapus jiwa seni. Menurutnnya garis besar pedoman pengajaran
pendidikan seni sangat teoritif dan
kebarat-baratan. Jenis kesenian Indonesia sama sekali tidak disinggung. Tuntutan
pada perluasan apresiasi seni, sensitivitas dan kreatifitas tidak ada juga,
seolah-olah dididik sesuai dengan “komputerisasi manusia” tanpa sesuatu yang
berhubungan dengan jiwa manusia.
3. Muatan
Lokal
Barangkali yang sedikit menghibur dari kurikulum1994
adalah diperkenalkanya konsep kurikulum Muatan Lokal (Mulok). Secara
konseptual, ide mulok bagus karena dimaksudkan untuk mengakomodasi
potensi-potensi lokal yang tidak mungkin terwadahi dalam kurikulum nasional.
Melalui Mulok juga diharapkan dapat dikembangkan berbagai pendidikan praktis
yang sifatnya aplikatif. Mulok adalah jawaban atas tuntuan masyarakat agar
sekolah tidak mencerabut murid dari akar-akar lingkungan geografis, ekonomi,
sosial dan budaya. Oleh sebab itu Mulok seharusnya mengacu pada kondisi lokal
dimana sekolah itu berada.
Tapi pada
implementasinya, pelajaran Mulok tersentral pada tingkat provinsi. Artinya,
jenis pelajaran mulok pada satu provinsi itu sama. Pada umumnya pelajaran Mulok
yang di berikan adalah Bahasa daerah, Kesenian, Olahraga, atau Keterampilan.
BAB
IV
Matinya
Profesi Guru
Guru merupakan aktor utama dalam proses pembelajaran di
sekolah. Ibarat membuat rumah, guru di dalam sekolah adalah soko
guru(Tiang)-nya. Kuat tidaknya bangunan rumah amat tergantung pada tiang penyangga.
Oleh karena itulah, berbicara masalah pendidikan tidak dapat melepaskan masalah
guru sebagai tiang penyangga utamanya.Selama bertahun-tahun fokus perhatian
terhadap masalah guru hanya pada rendahnya kesejahteraan guru dan prestasi
guru, serta menurunya penghargaan padaprofesi guru. Profesi guru tidak lagi
dipandang sebagai profesi yang prestisius, seperti halnya profesi dokter atau
insyinyur, tapi menjadi pelabuhan terakhir dari para lulusan IKIP setelah tidak
diterima di profesi lain. nahkan mereka yang masuk ke lembaga pendidikan guru,
seperti IKIP pun bukan sepuluh besar anak-anak SMA yang pintar dan jenius, tapi
saringan dari mereka yang tidak diterima di universitas favorit.
1.
Gaji Rendah dan Beban Utang.
Menurut penuturan para
yang sudah hafal dengan kehidupan di negara-negara lain, gaji guru di
indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara lain. tapi sesungguhnya
secara objektif, dibandingkan dengan gaji pegawai negeri lain yang menmiliki
golongan sama, gaji guru sudah lebih tinggi sedikit. Sesungguhnya besar
kecilnya gaji guru di indonesia itu, lebih berdasarkan pada beban tanggung
jawab yang di dipikul dengan kontraprestasi yang mereka terima. Bukan
dibandingkan dengan gaji PNS lainya atau dengan gaji guru di negara-negara
lainya.
Persoalan
randahnya pendapatan guru itu amat dirasakan oleh para guru yang tinggal di
kota-kota besar. Bagi guru yang mengajar di kota besar, status sosial mereka
sering lebih rendah dibandingkan murid-muridnya, sehingga konsekwensi logisnya
adalah mereka kurang berwibawa dihadapan murid-murinya yang selalu datang dan
pulang sekolah dijemput dengan mobil mewah, sementara guru hanya naik motor
atau bus kota ekonomi.
Guru dengan gaji
rendah tadi memiliki dua kemungkinan yakni:
a. bagi guru yang letak lokasi mengajarnya jauh dari
rumahnya atau dilain daerah, mereka akan kontrak atau kos di dekat sekolah,
konsekwesinya adalah upaya gali lobang tutup lobang akan berlangsung terus
sepanjang menjadi guru.
b. bagi mereka yang jauh dari rumah tapi lokasi mengajarnya masih bisa
ditempuh dengan sepeda motor atau angkutan umum, mereka cenderung memilih
pulang-pergi konsekwensinya guru sering terlambat sampai kesekolah. Atau mereka
bolos ketika tidak memiliki uang sama sekali untuk transportasi, terlebih lagi
pada saat tanggal tua.
Mengingat rata-rata guru SD di Indonesia termasuk kriteria tadi, maka wajar
jika mayoritas guru SD di seluruh Indonesia pada saat itu bermasalah dengan
penumpukan hutang.
Menumpuknya utang
para guru SD, selain disebabkan gaji yang rendah, juga disebabkan birokrasi
yang korup dan kolusi sehingga menciptakan beban ekonomis bagi guru sejak awal.
Mekanisme rekrutmen guru yang menggunakan model-model uang pelicin, merupakan
biang utama menumpuknya utang para guru. Berdasarkan uraian di atas, jelas ada
beberapa hal yang harus dibenahi agar guru tidak terjerat dalam hutang
diantaranya:
a. Perlu ada pembenahan yang mendasar dalam mekanisme
rekrutmen guru, terutama guru
SD agar rekrutmen
itu tidak menciptakan beban ekonimis kepada calon guru, yang pada
akhirnya
merugikan masyarakat luas.
b. Para pejabat pendidikan sudah selayaknya mengurus nasib
para guru,agar guru
c. fokus mengajar dan tidak repot mengajukan surat
permohonan kenaikan golongan.
d. Kecenderungan menjadikan guru SD sebagai pangsa pasar
yang empuk harus
dihentikan.
2.
Keterbatasan Akses Informasi Dan Ilmu Pengetahuan
Berkaitan dengan minimnya gaji yang diterima guru itu
adalah terbatasnya akses terhadap informasi yang mereka serap, terutama
informasi yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan
profesionalitas guru. Guru dalam kehampaan informasi tidak mungkin mampu
menanamkan benih-benih “subversif” maupun menumbuhkan “kesadaran kritis
terhadap murid” apalagi memberikan inspirasi kepada murid-murid untuk melakukan
tindakan yang revolusioner, baik untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun
perubahan sosial di masyarakat.
Sulit dibayangkan seorang guru dapat menanamkan sikap
kritis bila mereka sendiri tidak pernah bersentuhan dengan informasi yang
mendukungnya, seperti praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan sosial
ekonomi, pelanggaran HAM, utang luar negeri, penindasan buruh oleh majikan,
dampak buruk globalisasi, atau eksploitasi sumber alam belebihan oleh
segelintir orang. Bila informasi yang diakses guru adalah informasi-informasi
yang muncil di pemberitaan media massa yang sudah mengalami sensor yang amat
kuat, salah-salah informasi itu justru hanya mempertahankan garis kemapanan
saja.
Guru yang baik bukan hanya orang yang mampu menyampaikan
pelajaran, tapi juga orang yang mampu menyampaikan nilai. Disini mencakup didalamnya bukan hanya soal
kejujuran, kebaikan dan kebenaran, tapi juga kesadaran kritis, karena guru pada
dasarnya adalah seorang ideolog pula.
3.
Penyetaraan Yang Tidak Setara
Kerapuhan bangunan sikap kritis yang dimiliki oleh para
guru itu memang tidak terlepas dari basis pendidikan para guru yang amat
terbatas, utamanya para guru SD. Untuk itu pemerintah berupaya meningkatkanya
melalui pemberian kesempatan kepada guru-guru terutama guru SD agar mengikuti
kuliah jarak jauh lagi atas biaya pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai
program penyetaraan.
Tapi dilain pihak, pemerintah tidak mengangkat lagi
lulusan Program Diploma Dua (D2) menjadi guru negeri. Ketidak konsistenan
tersebut merupakan pemborosan dana. Selain itu juga menciptakan iklim buruk
diperguruan tinggi. Pembukaan program-program diploma di PTN terkesan tanpa
perencanaan dan dadakan saja. Padahal, itu jelas memerlukan dana yang besar.
Mungkin akan lebih efisien dan efektif bila pemerintah mengangkat para lulusan
Diploma II menjadi guru SD dari pada harus menyekolahkan lagi para SPG ke
Diploma.
Perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah adalah mulai
tahhun anggaran 1996/1997 rekrutmen tenaga guru SLTP ditingkatkan
kualifikasinya minimal sarjana strata satu (S1).
Persoalan mutu program penyetaraan guru SD-SMP itu perlu
dipersoalkan, mengingat adanya beberapa hal:
a. Penyetaraan itu sifatnya proyek, maka aspek kualitas
sering diabaikan dan cenderung aspek kuantitas saja yang dikejar.
b.Biaya yang ditanggungkan kepada pemerintah maupun guru
tidak sesuai dengan hasilnya.
c. Munculnya persoalan ketidakadilan dalam kenaikan golongan
atau nasib seringkali dianggap sepele, namun pada praktiknya merusak kinerja
guru dan dampak panjangnya menimbulkan konflik laten.
d. Ada masalah yang belum diselesaikan pemerintah yaitu
banyaknya lulusan Diploma II dan III yang sampai sekarang belum diangkat,
bahkan sering ditegaskan tidak dapat diangkat lagi mengingat
ketentuan-ketentuan baru tadi.
e. Banyak kendala administratif yang berkaitan dengan
komunikasi antara peserta dan penyelenggara (UT), yang kemudian berakibat pada
kekancaran program.
4.
Di Bawah Cengkeraman Birokrasi
Hidup dalam cengkeraman birokrasi yang amat kuat itu
terutama didasarkan olehpara guru SD, yang hak pengangkatan, penilaian, maupun
pemberhentianya ada dalam Depatemen dalam Negeri. Pemda TK I dan TK II. Oleh
karena jarak fisik mereka relatif dekat dan sifat birokrat di Pemda amat
demokratis, maka jeratan demokrasi terhadap guru SD amat terasa. Guru SD sering
sekali hanya menjadi objek korupsi dan kolusi mereka. Segala hal yang berurusan
dengan guru SD (pengangkatan, kenaikan pangkat, mutasi, dan pensiun) dilakukan
berdasarkan uang. Di lain pihak, kontrol terhadap guru SD juga amat kuat,
misalnya keharusan mengikuti organisasi guru PGRI dan keharusan memilih partai
Golkar dalam setiap pemilu. Setiap pelanggaran terhadap komando itu aka dikenai
sanksi berupa pemutasian ke daerah terpencil, dipersulit kenaikan pangkatnya,
atau dipecat tanpa hormat. Oleh karna kontrolnya yang sangat kuat itu, maka
tidak mengherankan bila kemudian para Guru SD tumbuh dan besar seperti bebek,
yang hanya manut saja digiring kemanapun oleh birokrasi. Hanya sedikit guru SD
yang tumbuh menjadi pribadi yang otonom sehingga memiliki keberanian untuk
berkata “tidak” kepada kemauan atasan.
Guru SD adalah ujung tombak suksesnya Wajib Belajar
Sembilan Tahun dan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Sebab kalau pada
tingkat pendasaranya dangkal, maka hasil pendididkan pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi juga kurang optimal.
5. Perubahab
Sosok Guru
Guru sejak masa Orde Baru sampai sekarang bukan lagi
seperti yang dilukiskan oleh Earl V Pullias dan James D Young dalam bukunya,
yaitu sebagai sososk makhluk serba bisa sekaligus memiliki kewibawaan yang
tinggi dihadapan murid maupun di masyarakat. Tapi, sosok guru yang sekarang ini
lebih tepat sebagai sosok mimikri, yang harus pandai-pandai menyesuaikan diri
di mana dan dalam situasi apa mereka berada. Hal itu sebagai akibat dari
situasi ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sangat dominan.
Padahal, menurut Earl V Pullias dan James D Young,
sebagai sosok makhluk serba bisa , yang dapat dilakukan guru untuk membantu
bergeraknya proses pertumbuhan murid secara terus-menerus antara lain:
1) Guru dapat hadir bila para pelajar memerlukan untuk mendengarkan
dan memahaminya.
2) Guru dapat memberi wawasan kepada murid untuk memahami persoalan-persoalan
kehidupan kehidupan nyata.
3) Guru dapat sharing pengalaman yang dapat menjadi bahan
refleksi murid atau bahkan
memberi inspirasi pada murid.
4) Guru dapat membantu pelajar memeriksa keadaan dengan
bebas dan jujur dari berbagai
sudut pandang.
5) Guru dapat mengetahui seluruh perkembangan manusia dan melihat hubungan itu dari
berbagai aneka derajat dan segi-segi
kehidupan sejak dilahirkan sampai mati.
5.
Kurangi Beban Ideologis
Sebagian
masyarakat sangat percaya bahwa munculnya tindakan kekerasan fisik yang
dilakukan guru terhadap muridnya, yang sekaligus menandai matinya profesi guru
disebabkan oleh terlalu beratnya beban yang dipikul oleh para guru dan tidak
ada ruang-ruang untuk mengekspresikanya. Secara ekonomis, gaji guru yang rendah
membuat para guru ngobjek ke sana kemari sehingga tidak sempat beristirahat
apalagi merenungkan profesinya apalagi atau belajar untuk meningkatkan
profesionalitasnya. Celakanya lagi gaji yang rendah itu masih banyak dipotong
untuk kepentingan yang tidak pernah jelas.
Untuk
menghidupkan kembali profesi guru, yang ditekankan seharusnya bukan sebatas
masalah ekonominya saja, melainkan lebih pada masalah struktural. Yaitu
bagaimana guru dibebaskan dari beban-beban ideologis yang harusnya menjadi
tugas aparatur negara. Guru bukanlah aparatus negara, melainkan seorang
pembaru.
Penguasa
ataupun tokoh sebaiknya juga tidak terlalu memaksakan program-program sekolah
melalui para guru misalnya guru harus beli saham SPTM hanya karena Menteri
pendidikanya adalah sobat dari pemilik ide sekaligus pemdiri IPTN. Biarlah
sekolah sebagai institusi resmi pengembangan ilmu pengetahuan berjalan otonom,
seperti yang di harapkan PR Sarkar, bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan
hendaklah diberikan bebas seperti kebebasan mendapatkan sinar matahari dan
udara, mengalir seperti sumber air yang mengalir bebas, menghidupkan semuanya
serta memberikan daya hidup kepada peradaban manusia untuk selama-lamanya.
6.
Beda Guru dan Buruh
Beragam tipe,
fungsi dan motivasi seorang guru, menyebabkan banyak diantara guru yang tidak
dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang guru, sehingga mereka
cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan seorang buruh pabrik. Meskipun
sekolah-sekolah formal sekarang telah dicurigai telah berkembang menjadi
industri, namun sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar antara seorang buruh
dengan seorang guru. Perbedaan itu diantaranya:
a.
Untuk
menjadi seorang guru dibutuhkan persyaratan pendidikan khusus, sedangkan buruh
tidak bersekolah sama sekali, asalkan memiliki keterampilan cukup.
b.
Buruh
akan bekerja secara rutin dari hari ke hari, akan menjalani ritme kerja yang
sama. Sedangkan seorang guru harus lebih kreatif, variatif, dan inovatif.
Mayoritas buruh berinteraksi dengan benda mati sedangkan guru menghadapi benda
hidup yang dapat berinteraksi langsung denganya
c.
.Buruh
bekerja disebuah perusahaan yang berusaha mencari untung
sebesar-besarnya.Sedangkan guru bekerja di institusi yang sengaja didirikan untuk
mencerdaskan sekaligus mendewasakanya.
d.
Buruh
memproduksi sesuatu yang dirinya sendiri belum tentu tahu siapa yang
menggunakanya. Tapi seorang guru harus sadar dan tahu persis apa yang
diproduksinya,sekaligus tahu bahwa orang yang akan merasakan manfaatnya dari
yang mereka “produksi” itu.
e.
Buruh
diikat dengan upah semata. Sedangkan guru, selain diikat denagan upah, juga
diikat dengan tanggung jawab moral dan sosial.
BAB
V
Buku
Yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat
1.
Membungkam Daya
Kritis
Kebijakan pemerintah yang menaikan harga kertas koran per 1 April 1995
secara bertahap hingga mencapai 30 persen, serta kertas HVS yang mencapai 50%
otomatisakan berdampak langsung pada kenaikan harga koran dan buku. Akibatnya,
masyarakat tidak memperoleh informasi secara mudah. Industri koran dan buku
terancam bangkrut.
Dampak lain yang
lebih jauh dari kenaikan harga kertas itu adalah makin tingginya biaya
pendidikan, mengingat harga buku, baik buku tulis maupun buku pelajaran makin
mahal sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua juga semakin tinggi.
Tapi bukan tanpa
sengaja pemerintah menerapkan kebijakan semacam ini. Kebijakan menaikan harga
kertas yang kemudian berdampak pada kenaikan harga barang bacaan, baik berupa
koran, tabloid, majalah maupun buku tulis dengan sendirinya akan mengurangi
hasrat masyarakat untuk memperoleh informasi yang up to date. Berkurangnya akses informasi masyarakat itu dengan
sendirinya akan berdampak pada berkurangnya rasa ingin tahu masyarakat terhadap
situasi dan kondisi yang sedang berkembang di masyarakatnya. Sikap tidak acuh
pada perkembangan situasi dan kondisi lingkunganya itu secara evolutif akan
menumpulkan sikap kritis mereka, sehingga aman bagi penguasa.
Dikhawatirkan,tingginya
harga kertas dan koran HVS yang akan diikuti dengan tingginya harga kertas
justru itu akan melembagakan budaya lisan yang dalam beberapa tahun terakhir
sangat dicemaskan sebagai biang dari minat baca yang rendah.
2. Kertas
Sebagai Kebutuhab Pokok
Bila kita mencermati tingkat kebutuhan kertas nasional sekaligus perananya
dalam kehidupan kita dalam berbudaya, maka kertas sebetulnya layak untuk
dimaksukan kedalam kategori kebutuhan hajat hidup orang banyak. Pemerintah
tidak menekan perusahaan kertas agar menurunkan harga, tapi justru menyarankan
agar koran mengurangi halamanya. Alternatif tersebut tentu tidak menyelesaikan
persoalan. Saran pengurangan halaman seakan membenarkan, bahwa kenaikan harga
kertas merupakan strategi politis negara untuk membungkam daya kritis
masyarakat secara tidak langsung. Sangat ironis, Indonesia yang kaya sumber
daya alam sampai kehabisan bahan baku kertas.
3. Bisnis
Buku Pelajaran
Industri buku yang kurang memberikan keuntungan besar bagi pengusaha itulah
yang mendorong munculnya bisnis buku-buku pelajaran sekolah dengan menjadikan
murid sebagai objek atau pangsa pasarnya. Hal itu sudah terjadi setelah
pertengahan dekade 1980-an bersamaan dengan bangkitnya industri penerbitan di
Indonesia.
Tumbuhnya industri
buku pelajaran itu selain didorong untuk memperoleh pangsa pasar yang tetap dan
potensial, juga untuk meraih dana yang dikucurkan oleh pemerintah melalui
proyek buku bacaan atau pelajaran. Seperti diketahui sejak dekade 1970-an
pemerintah mengadakan proyek buku yang dibiayai
dana APBN dan utang luar negeri.
Namun perlu diakui
bahwa alokasi APBN itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan buku-buku paket
pelajaran bagi seluruh murid di Indonesia. Celaah itulah yang kemudian
dimanfaatkan oleh penerbit untuk menerbitkan buku-buku pelajaran baru yang
mereka klaim sebagai pelengkap buku-buku paket dari pemerintah. Para penerbit
umumnya melengkapi bukunya dengan tulisan “Buku Ini Sesuai Dengan Kurikulum
GBPP 1984”. Agar produk cetakan itu memiliki jaringan pasar yang luas, maka
sistem pemasaran mereka tidak konvensional melalui toko buku yang ada, tapi door to door ke sekolah-sekolah. Banyak
keluhan dilontarkan oleh wali murid terhadap praktik jual beli buku disekolah
yang amat memberatkan masyarakat itu, tapi tidak pernah ada respon positif dari
pejabat.
Penerbit buku dan
birokrat pendidikan yang mengeluarkan rekomendasi memang meneguk manfaat besar, tapi masyarakat
harus memikul beban yang amat berat. Betapa beratnya beban yang harus dipikul
oleh orang tua murid itu tercermin dari punggung anak-anak mereka yang
bersekolah dan harus membawa tas besar berisi buku-buku pelajaran yang begitu
banya. Inilah mata rantai industri perbukuan nasional yang memberatkan
anak-anak Indonesia, bukan dari bukunya melainkan harga yang harus dibayarkan.
Jadi, berdasarkan
uraian di atas, jelas bahwa buku yang seharusnya mencerdaskan dan membuat kita
lebih bijak, ternyata justru hanya memperbodoh masyarakat, mencabut murid dari
lingkungan geografis, ekonomi, sosial, budaya dan kepercayaanya, sekaligus
memiskinkan masyarakat karena setiap saat dipaksa. Bagi kaum miskin, bisnis
buku pelajaran itu telah menjadi momok tersendiri untuk dapat bersekolah. Tidak
sedikit dari mereka yang putus sekolah karena tidak mampu membeli buku
pelajaran yang diharuskan guru.
BAB VI
Wajib Belajar: Antara Tuntutan Kualitas dan Kuantitas
1.
Belajar pada Program KB.
Seandainya saja
beban politisnya tidak telalu besar, maka proses menuju pelaksanaan wajib
belajar sembilan tahun itu dapat berjalan lebih alami, seperti halnya yang
terjadi pada program KB (Keluarga Berencana). Ketika masyarakat belum mengerti
akan pentingnya program KB sejak di programkan pertama kali pada awal 1970-an,
maka pelaksanaan KB waktu itu disertai dengan kekerasan oleh aparat desa.
Sehingga pelaksanaan KB waktu itu menimbulkan ketakutan pada ibu-ibu muda atau
ibu-ibu yang memiliki anak lebih dari dua. Salah satu intimidasi terhadap
keluarga di Jawa saat itu adalah ancaman akan di transmigrasikan ke Sumatera,
yang pada saat itu seperti dibuang karena infrastruktur transportasinya masih
buruk. Tapi sepuluh tahun berikutnya program KB menjadi kebutuhan setiap pasangan
baru, sehingga pelaksanaanya tidak perlu paksaan, tapi sukarela.
Belajar dari
program pelaksaan KB, seharusnya pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun pun
tidak didasarkan kepentingan politis, tapi pada kenutuhan masyarakat pada
pendidikan. Secara konseptual, memang ada perbedaan yang mendasar antarra
program KB dengan wajib belajar. Program KB adalah program pengendalikan
pertumbuhan penduduk dengan cara membatasi jumlah kelahiran. Sedangkan dalam
program wajib belajar, meskipun dinamakan “wajib” tetapi posisi masyarakat
adalah wajib menjalankan dalam rangka untuk mendapatkan haknya sebagai warga
negara. Jadi, jelas bahwa yang satu merupakan kewajiban yang harus di jalankan,
sedangkan yang satunya lagi merupakan hak yang harus dipenuhi oleh negara.
Salah satu faktor
yang cukup berpengaruh pada program pelaksanaan wajib belajar sembiln tahun
adalah persoalan kultural, di masyarakat desa muncul keraguan akan makna
sekolah. Untuk apa bersekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya hanya menjadi
pembantu rumah tangga, atau buruh pabrik. Kesadaran bahwa sekolah tidak
memberikan solusi merebak pada masyarakat bawah yang cenderung pragmatis.
Program wajib belajar sembilan tahun itu pun cenderung mempersempit ruang gerak
kaum miskin karena dalm pelaksanaanya adanya pembatasan usia masuk SMP maksimal
usia 18 tahun dan untuk SMTA usia 21 tahun.
2.
Wajib Belajar Bukan Wajib Lulus.
Dalam konteks wajib belajar sembilan tahun, perdebatan yang sampai sekarang
belum selesai adalah mengenai sistem perpindahan murid dari SD ke SMP. Di
masyarakat muncul persepsi wajib belajar sembilan tahun berarti murid duduk di
bangku SD selama sembilan tahun berturut-turut tanpa mengalami perpindahan
sekolah.
Persepsi yang lain
adalah sistemnya tidak pernah berubah, yaitu setelah tamat dari kelas VI
langsung asuk SMP, tapi keduanya itu merupakan satu rangkaian jenjang
pendidikan, karena seorang dapat dikatakan “tamat pendidikan dasar” meskipun
demikian tidak berarti bahwa wajib belajar identik dengan wajib lulus. “wajib
belajar” adalah keharusan setiap anak usia sekolah (7-15 tahun) untuk sekolah
sampai pada tingkat atau jenjang tertentu sedangkan “kelulusan” merupakan hak
yang diterima oleh semua murid yang memenuhi kriteria tertentu. Keduanya
memiliki perbedaan yang signifikan.
Pengertian “wajib
belajar” sama dengan “wajib lulus” akan berdampak penurunan pada penurunan
kualitas pendidikan secara menyeluruh, demi mengejar kuantitas saja. Karena,
dalam pengertian ini, setiap murid memenuhi kriteria atau tidak memenuhi wajib
diluluskan sehingga seakan-akan tidak ada standarisasi pendidikan di ingkat SD.
Kemerosotan pendidikan ditingkat SD secara berangsur-angsur tidak terkontrol
bila kebijakan wajib belajar sembilan tahun identik dengan wajib lulus.
3.
Mensubsidi yang Mampu
Bank Dunia dalam laporanya (1994) memberikan kritik terhadap pelaksanaan
pembangunan di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Menurut penilaian Bank Dunia, subsidi untuk pendidikan dan kesehatan ternyata
lebih dinikmati oleh orang mampu dan kaya. Oleh sebab itu, tidaklah beralasan
jika subsidi diberikan untuk pendidikan tinggi, mengingat jumlah penduduk yang
mengenyam pendidikan tinggi dan universitas, pada umumnya adalah orang-orang
berada atau mampu dari segi ekonomi.
Kritik Bank Dunia
itu secara tidak langsung dimaksudkan agar pemerintah menangani program wajib
belajar sembilan tahun, termasuk memberikan anggaran yang cukup. Jangan sampai,
subsidi pendidikan yang terbesar justru diberikan kepada pendidikan tinggi,
tapi diberikan pada pendidikan dasar.
Menanggapi kritik
Bank Dunia itu, ada beberapa catatan yang dapat diberikan untuk langkah
perbaikanya, diantaranya: Meningkatkan alokasi dana untuk pendidikan dasar, Komimen
untuk menyukseskan wajib belajar sembilan tahun dengan mengratiskan uang SPP
dan uang gedung, Modifikasi sistem penerimaan murid baru di SMP, yang tidak
hany berdasar pada NEM tapi juga didasarkan pada kemampuan ekonomi peserta
didik, Persoalan pendidikan bukan hanya masalah mikro tapi juga masalah makro
(ekonomi, sosial, politik, budaya dan lingkungan)
4.
Memberi Makna pada Aksara
Kesuksesan wajib belajar senmbilan tahun memang penting bagi Indonesia.
Tapi, yang lebih penting adalah memberi makna terhadap melek aksara itu
sendiri. sebab kalau program wajib belajar sukses dan semua warga indonesia
melek aksara, tapi kemelekan aksara itu tidak memiliki makna dalam hidpnya,
sebaliknya hanya untuk mendukung status quo, maka sesungguhnya program
wajib belajar itu hanya nerupakan tindakan manipulatif saja. Padahal wajib belajar
sembilan tahun adalah sarana agar setiap orang melek aksara agar sehingga
mereka mampu membangun identitas dan kepercayaan dirinya. Tanpa adanya pasokan
informasi yang kritis dan mudah diakses oleh masyarakat, kesuksesan wajib
belajar sembilan tahun hanya menjawab kebutuhan formalitas saja, tapi
pengetahuanya tidak sepadan dengan status yang disandangnya.
Siapa yang patut
menyediakan pasokan informasi pada masyarakat untuk membangun kesadaran kritis?
Jelas bukan pemerintah, karena mereka tidak mungkin menyediakan informasi yang
mampu menggugah kesadaran warga mengenai ketidakadilan, ketimpangan sosial,
penindasan dan sejenisnya.
Tidak adanya sikap
kritis massyarakat terhadap segala bentuk jargon maupun indoktrinasi ideologi
secara sistematis melalui pendidikan formal itu memperlihatkan banhwa program
wajib belajar sembilan tahun memang berhasil meningkatkan status formal
pendidikan masyarakat, minimum SMP tapi belum mampu mengajarkan sikap kritis
kepada masyarakat untuk mengkritisi pembangunan di wilayahnya.
Apakah aksara mereka pelajari itu memberikan makna bagi
perkembangan jiwa dan peradabanya? Kata Polo Freire, “kami menghendaki suatu
program pemberantasan buta huruf yang sekaligus meruakan introduksi bagi
demokratisasi kebudayaan, program yang melibatkan menusia sebagai subjek dan
bukan sebagai penerima pasif semata” (Paulo Freire 1984:43)
BAB VII
Antara Unggulan dan Unggul
Kantoe Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Pdan K) Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) menetapkan ada tiga SMA di Yogyakarta yang ditunjuk sebagai percontohan
SMA unggulan. Munculnya
fenomena sekolah inggulan ini merupakan merupakan kebijakan Menteri Pendidikan
Wardiman Djojonegoro sebagai upaya meningkatkan mutu SMA untuk mencapai standar
tertentu. Dari gagasan SMA unggulan muncul pula gagasan membuat SLTP maupun SD
unggulan yang dimaksudkan untuk mencari bibit unggul sejak dini.
Kajian implikasi
sosialnya kiranya sama seperti komentar baragam yang dilontarkan masyarakat
tatkala pemerintah hendak mendirikansekolah calon pemimpin bangsa, yang dikenal
dengan SMA Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah akhir dekade 1980-an.
Banyak yang mendukung tapi juga banyak yang menentang, para pendukung
berpendapat bahwa eksklusifisme kemampuan berfikir sama dengan eksklusifisme
sosial ekonomi sedangkan kelompok yang menolak calon pemimpin itu terlahir dari
seleksi alam bukan diciptakan secara karbitan,
1.
Demam Ungulan
Gagasan
pengembangan sekolah unggulan mungkin dianggap pararel dengan semangat
pengembangan sumber daya manusia yang telah menjadi wacana dominan.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berkwalitas dan globalisasi, seakan
merupakan dua mantra kunci yang menjadi dasar pengembangan konsep
sekolah-sekolah unggulan tersebut. Artinya, konsep sekolah unggulan dibangun
untuk berdasarkan asumsi untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang
berkwalitas untuk menghadapi globalisasi.
Disadari atau
tidak, lahirnya konsep sekolah unggulan untuk menghadapi globalisasi
sesungguhnya mereduksikan makna pendidikan nasional yang dalam perspektif Ki
Hajar Dewantara sebagai sarana untuk mewujudkan kemerdekaan dan sekaligus
melahirkan manusia yang merdeka, tapi kemudian direduksi menjadi sekedar untuk
menyiapkan manusia-manusia Indonesia menghadapi globalisasi. Menyiapkan
generasi muda untuk menghadapi globalisasi berarti menyiapkan generasi muda
untuk berkompetisi alias bertarung. Dalam bertarung selalu ada yang menang dan
yang kalah, yang menang akan merayakan kegembiraan dan yang kalah akan berlinag
air mata dengan penuh penyesalan. Tapi melahirkan manusia yang merdeka berarti
manusia yang mampu menentukan arah hidupnya sendiri, entah melalui kompetisi
atau lainya.
Orientasi
pendidikan yang lebih diarahkan untuk melayani kepentingan pasar (modal)
tercermin dari pergantian istilah dari manusia yang bermakna multidimensi
menjadi SDM (sumber daya manusia). Kata manusia multidimensi memiliki makna yang
amat kompleks yang memiliki ruh atau jiwa, bukan sekedar badani, sehingga ada
yang menyebut manusia sebagai makhluk yang berfikir, makhluk bermain, makhluk
misteri, dan sebagainya. Tapi istilah SDM lebih mengacu pada arah sumber daya
ekonomi yang dapat dieksploitasi dan dianggap bermakna apabila memberikan
kontribusi langsung untuk pertumbuhan ekonomi.
Melihat masyrakat
yang diam yang dapay diklaim sebagai mendukung konsep sekolah unggulan tersebut
maka kiranya menarik untuk melakukan kajian terhadap pandangan masyarakat atas
fenomena sekolah unggulan.
Sekolah negeri
maupun swasta sebetulnya memiliki peluang yang sama untuk melakukan inovasi
demi pembaruan sistem pendidikan nasional. Tapi, mungkin cara kerja yang
berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang telah melekat
bertahun-tahun di kalangan para guru dan kepala sekolah itulah yang menyebabkan
para pengelola sekolah negeri kurang mampu dan tidak berani melakukan
eksperimen. Mereka takut do salahkan karena belum ada petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis yang jelas.
2.
Dominasi Peran Pengawas.
Bunyi pasal 30 PP
No28/1990 tentang Pendidikan Dasar itu sebetulnyakonsiste dengan sejarah
perkembangan sistem pendidikan nasional. Bahwa sistem pendidikan nasional sejak
awal telah melalui prses panjang dan penuh dengan eksperimen, seperti yang
diperlihatkanoleh Ki Hajar Dewantara dengan Tamansiswa-nya yang menawarkan
model pendidikan kebangsaan atau Mohammad Syafei dengan IS Kayu Taman di Padang
yang menawarkan pendidikan keterampilan yang berbasis alam sekitarnnya. Dari
berbagai pemikiran dan uji coba itulah, sistem pen didikan nasional terbentuk.
Itupun belum final. Terbukti, setiap menteri selalu menawarkan konsep baru yang
dianggap paling tepat.
Miskinya inovasi
dalam pemdidikan itu barangkali, bersumber pada watak birokratis (pendidika)
yang kurang respek terhadap segala bentuk eksperimen maupun inovasi yang
dilakukan oleh pengelola lembaga pendidikan. Watak birokrasi itu disebabkan
oleh dua hal: pertama, keterbatasan
wawasan mereka sehingga tidak mempunyai referensi untuk menilai setiap
eksperimen atau inovasi yang dilakukan kepala sekolah atau guru. Kedua, tidak berani mengambil resiko
untuk disalahkan oleh pucuk pimpinan bila melihat ada perbedaan di lapangan
dengan apa yang diharapkan oleh pucuk pimpinan.
Pengendali sistem
pendidikan nasional di lapangan adalah para pengawas yang notabene menjadi kaki tangan kanwil departemen P dan K untuk
memonitor jalanya pendidikan secara langsung. Para pengawas ini umumnya memulai
karier dan profesi guru, kemudian menjadi kepala sekolah. Baik sebagai guru
maupu kepala sekolah mereka bekerja berdasarkan peunjuk teknis. Kebiasaan
itupun terbawa ketika seorang guru menjadi sekolah dan dan kemudian menjadi
pengawas. Sehingga, cara seorang pengawas melihat kemajuan sekolah bukan
berdasarkan eksperimen dan inovasi yang dilakukan oleh sekolah, melainkan
berdasarkan persyaratan-persyaratan administratif yang dituangkan dalam
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tadi.
Celakanya sedikit
sekali ada pengawas yang cukup cerdas, kritis dan berfikir lateral dalam
menjalan kan tugas sehingga mereka cukup toleran terhadap segala bentuk
eksperimen atau inovasi yang dilakukan oleh sekolah. Yang terjadi pada umumnya,
para pengawas itu amat otoriter, apa kata mereka harus dituruti karena mereka
sudah melampaui tahapan-tahapan menjadi guru dan kepala sekolah sehingga aa
yang dikatakanya sudah berdasarkan praktik, bukan teori saja, sedangkan gagasan
baru sering dianggap teori belaka.
BAB VIII
Komersialisasi dan Komodifikasi Pendidikan
Ada suatu pola rutin yang dijalani oleh sekolah-sekolah
di Indonesia setiap penutupan dan pembukaan tahun ajaran, terutama sejak dekade
1980-an. Pada penutupan tahun ajaran biasanya setelah tes sumatif stsu krnsikan
kelas sekolah-sekolah banyak yang mengadakan program study tour ke daerah-daerah tujuan wisata. Kota-kota seperti
Yogyakarta, Bali, Jakarta meruakan kota-kota yang banyak dikunjungi oleh wisata
pelajar dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Sedangkan pada tahun ajaran
baru, sekolah secara sistematis memaksa murid untuk melakukan pendaftaran ulang
pembayaran dengan membayar uang, membeli pakaian seragam baru, dan atau buku
paket baru.
Terhadap kedua
pola itu, belum ada suatu penelitian yang mengkaji secara cermat dan jernih,
guna melihat dampak positif negatifnya. Dengan kata lain, apakah kedua pola
yang mentradisi itu cukup menunjang keberhasilan pendidikan nasional atau
tidak, belum ada data ilmiah yang mampu menjelaskanya. Pelaksanaan kedua pola
itu hanya berdasarkan asumsi baik saja, bahwa keduanya berdampak positif
terhadap perkembangan pendidikan nasional, tapi tidak pernah dipertimbangkan
dampak negatifnya sama sekali.
1.
Study
Tuor Sebagai Jaringan Bisnis.
Pertabyaan
mendasar yang dapat kita ajukan di sini adalah: siapa sebetulnya yang diuntungkan
oleh program study tour? Jawaban atas
pertanyaan ini amat penting untuk memberikan kesadaran keitis kepada semua
penyelenggara pendidikan agar mereka tidak hanya menjlankan program itu seperti
taken of granted, tapi mesinya disertai dengan bersikap kritis sehingga dapat
memutuskan ini program yang wajib dilaksanakan atau tidak.
Program sudy tour memiliki segi positif,
setidaknya membuka wawasan murid terhadap kekayaan dan keanekaragaman potensi
bangsanya. Study tour juga merupakan
ruang rekreasi bersama bagi anak-anak usia remaja, sekaligus membangun memori
indah bersam kawan-kawanya.
Namun ada beberapa
dampak negatif yang dapat didiskusikan dari program study tour itu, antara lain:
a. Memperkuat arus/pola hidup murid yang cenderung
konsumtif, rekreatif dan hedonistik yang telah mereka dapatkan lewat lingkungan
dan media massa, kemudian diperkuat dengan pendidikan formal.
b.Program study tour
memperkuat arus “pasar” di sekolah. Sudah diketahui oleh umum bahwa dalam program
pelaksanaan study tour itu, ada
jaringan pasar yang sangat kompleks dan menguntungkan secara bisnis, misalnya
jaringan dengan perusahaan jasa transportasi, perhotelan, katering, industri
kerajinan dan sebagainya.
c. Program study tour
adalah menumbuhkan sikap tidak jujur kepada aparat sekolah.Makin beratnya beban
ekonomi yang harus dipikul oleh masyarakat.
d.
Masyarakat
terpaksa harus mengeluarkan biaya ekstra yang cukup besar untuk sesuatu yang
tidak memiliki asas manfaat langsung dengan mutu pendidikan.
2.
Sekolah Sebagai Pasar.
Mencermati praktis
pendidikan nasional selama masa Orde Baru menyadarkan kepada kita semua betapa
hiruk-pikuknya suasana pendidikan nasional sebagai pemasaran produk-produk
industri maupun kebijakan, sehingga membuat suasana sekolah berubah fungsi
menjadi seperti pasar.
Pada awal dekade
1970-an, perilaku pasar masuk kesekolah dimulai dengan pengadaan pakaian olah
raga. Dengan tujuan untuk mempermudah murid melakukan aktifitas olah raga, maka
guru olah raga memesan pakaian olah raga. Karena biaya tidak mahal, orang tidak
pernah mempermasalahkan karena tidak melihatnya sebagai kepentingan kelancaran
proses belajar mengajar.
Mulai pertengahan
dekade 1970-an diperkenalkan program study
tour sebagai media untuk menunjang penumbuhan wawasan terkait dengan
pelajaran sejarah dan geografi. Menginjak dekade 1980-an produk industri yang
masuk kesekolah mulai bertambah, yaitu bahan kain sekolah. Hal ini terkait
dengan kebijakan seragam nasional yang diberlakukan oleh menteri Daoed Joesoef
pada tahun 1978 yaitu merah putih untuk SD, biru putih untuk SMP, dan abu-abu
biru untuk SMA.
Pertengahan dekade
1980-an juga ditandai dengan masuknya bisnis buku pelajaran sekolah dengan
membawa surat rekomendasi dari Dirjen Pendidikan Dasar Dan Menengah, Kepala
Kanwil Dan Kandep P Dan K, Atau Kepala Dinas P Dan K tingkat kabupaten. Memang sifat penawaranya sukarela, tapi
dengan menyodorkan surat rekomendasi yang sudah ditandatangani oleh para
pejabat, secara tidak langsung sekolah yang didatangi harus membeli buku yang ditawarkanya.
Pada dekade
1980-an ini, juga muncul kecenderungan baru bisnis terselubung yang dilakukan
oleh sekolah dengan menerapkan kebijakan “pendaftaran ulang” bagi murid lama
dengan membayar uang pendaftaran ulang, banyak sekolah yang juga mengharuskan
pendaftaran ulang itu disertai dengan pembelian kain seragam baru.
Memasuki 1990-an,
produk industri yang masuk kesekolah mulai bertambah, termasuk juga modus
perandinya. Jenis produk industri yang baru masuk ke sekolah dekade 1990-an
adalah industri asuransi dan sepatu seraagam. Dekade 1990-an ini juga ditandai
dengan bisnis buku pelajaran yang semakin menggila. Biaya pendidikan yang mahal
itu tidak memiliki korelasi dengan upaya peningkatan mutu pendidikan sedikitpun
3.
Akar Masalah.
Gejala
komersialisasi dan komodifikasi yang melanda sekolah-sekolah kita ini tidak
berdiri sendiri. Ia hanya merupakan rangkaian dari suatu sistem besar, baik
ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya yang melilit masyarakat kita.
a.
Ideologi
Secara ideologi
makin kuatnya cengkeraman ideologi kapital yang melanda Indonesia. Hal itu
sebagai hasil dari masuknya investasi asing yang secara resmi di buka tahun
1967 dengan dikeluarkanya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
b.
Politis
Secara politis
penguasa Orde Baru bermaksud menghapuskan kesan bahwa sekolah itu mahal, tapi
secara ekonomis tidak memberikan dana
yang cukup, sehingga sekolah dapat berkembang secara leluasa tanpa mengalami
hambatan dana. Akibatnya, sekolah dibiarkan untuk mengambil inisiatif menggali
dana sendiri dengan berbagai cara, termasuk melalalui daftar ulang bagi murid
lama tadi. Itu sebabnya, segala bentuk komersialisasi yang terjadi di sekolah
dibiarkan, karena pemerintah bersikap ambivalen terhadap praktik-pratik
penyelewengan di lingkungan sekolah.
c.
Budaya
Secara budaya
bersamaan dengan makin kuatnya cengkeraman ideologi kapitalis, di masyarakat
mulai muncul nilai-nilai baru tentang keberhasilan, budaya materialis mulai
menguasai masyarakat, sehingga ukuran keberhasilan seseorang pun dilihat dari
ukuran materialistik.
BAB IX
Kampus-Kampus yang Terpinggirkan
Kemelut
berkepanjangan menyangkut ruilslaag (tukar
guling) kampus pendidikan dan latihan APP (Akademi Penyuluhan Pertanian)
Malang, Jawa Timur dan pemilihan Rektor UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana)
Salatiga, Jawa Tengah (yang sampai menimbulkan perpecahan internal) membawa
arah perenungan mengenai keberadaan kampus-kampus di Indonesia yang makin
terpenggirkan, baik secara fisik maupun non fisik, terutama pengaruhnya.
Kampus APP yang
berlokasi di tengah kota dan menjadi paru-paru kota malang adalah tipikal
kampus yang terpinggirkan secara fisik demi kepentingan kapital yang dimiliki
oleh anak penguasa Orde Baru. Pemindahan kampus APP dari tengah kota ke
pinggiran kota secara otomatis memutuskan akses para mahasiswa dan sivitas
akademika terhadap arus informasi yang ada di kota, mereka berhadapan dengan
orang-orang yang tidak tahu kebutuhan mereka terhadap informasi baru, kondisi
fisik yang jauh dari permukiman penduduk juga kurang kondusif dalam menumbuhkan
semangat belajar mahasiswa karna disana mahasiswa terisolasi dari
hiruk-pikuknya masyarakat.
Berbeda dengan APP
Malang, kemelut UKSW yang berlangsung dua tahun lebih adalah tipikal
kampus-kampus yang terpinggirkan secara ideologis-politis. Kisruh pemilihan
rektor itu adalah hanya pemicu saja untuk mecuatkan konflik internal yang
memudahkan masuknya intervensi dari luar kampus, utamanya pemegang kekuasaan.
Pada kurun waktu
yang sama, di Universitas Nasional (UNAS) Jakarta juga terjadi konflik antara
pengurus yayasan kelompok Sutan Takdir Ali Syahbana yang oleh publik dikenal
sebagai pendiri dan sekaligus pengembang UNAS dengan kolompok Umar Basalim
(Mantas Sekjen MPR masa Orde Baru). Konflik itu dipicu persaingan kepengurusan
atau manajemen dan akhirnya sampai ke pengadilan. Dalam proses pengadilan
akhir, ada pada kelompok Sutan Takdir Ali Syahbana, tapi penguasaan UNAS secara
de facto berada di tangan lawan
berperkara.
1. Proses
Marginalisasi Kampus.
Apa yang terjadi
pada UNAS dan UKSW itu sebetulnya merupakan bentuk lain dari model kooptasi
sekaligus marginalisasi dunia kampus oleh penguasa. Bentuk kooptasi dan
marginalisasi lain adalah pemilihan rektor di PTN yang harus di tentukan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sehingga sering sekali tidak sesuai dengan
aspirasi bawah, seperti pada pemilihan Rektor UGM 1998. Pada saat itu Rektor UGM
dijabat oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasumantri yang dikenal dekat dengan
mahasiswa, bahkan pernah mengantarkan sejumlah mahasiswa menyampaikan aspirasi
ke DPRD DIY (1998). Namun ketika periode pertama (1984-1988) berakhir, Prof.
Dr. Koesnadi Hardjasumantri tidak ikut pencalonan rektor lagi periode
(1989-1992). Alasan yang mengemuka saat itu karena usia Koesnadi sudah di atas
60 tahun.
Proses
marginalisasi kampus secara fisik adalah fenomena yang muncul sejak dekade
1980-an. Dimulai pemindahan Universitas Indonesia yang boyong dari Salemba
menuju ke Depok, Jawa Barat, kemudian diikuti oleh Universitas Padjajaran dari
Dago ke Jatinagor, Sumedang, Institut Pertanian Bogor dari Baranangsiang ke
Dermaga, terus berturut-turut diikuti oleh Unversitas Hasanuddin, Sriwijaya,
Andalas, Universitas Diponegoro, dan IKIP Semarang (berganti UNES Universitas
Negeri Semarang) dan sebagainya. Kampus ITB yang ditengah kota itu juga sempat
tersiar kabar akan dipinggirkan, namun batal. Sedangkan untuk PTS dengan dalih
pengembangan kota, dipersilahkan minggir terlebih dahulu secara sukarela.
Artinya PTS-PTS dipersilahkan mengembangkan kampusnya di pinggiran kota.
2. Tersudutnya
Mahasiswa.
Upaya untuk
memarginalisasikan peran kampus juga datang dari kalangan kampus sendiri, ketika
sejumlah Rektor perguruan tinggi negeri maupun swasta di Yogyakarta berkumpul
dan sepakat untuk meminta militer masuk masuk guna menghadapi aksu demonstrasi
mahasiswa. Padahal, rektor adalah pemimpin perguruan tinggi yang seharusnya
menjujung tinggi otonomi akademik maupun otonomi kampus. Dengan mengundang
secara resmi aparat keamanan, khususnya militer untuk masuk ke dalam kampus
untuk menghalau para mahasiswa yang demonstrasi itu, rektor lebih terlihat
sebagai jabatan politis, tidak lagi menjadi penggendali tunggal kampus. Kampus
tidak otonom lagi dan hanya merupakan bagian kecil dari mesin kekuasaan yang
digerakkan oleh penguasa. Tidak mustahil bahwa pergerakan mesin itu pun pada
akhirnya dapat melumatkan rektor sendiri bila dimata mesin penggerak yang lain
dipandang amat mengganjal.
Kekuasaan memang
telah membentuk persepsi dan citra diri seseoranng. Betapa susahnya seorang
rektor untuk bersikap konsisten terhadap pernyataanya sendiri, meskipun
pernyataan itu belum lama mereka lontarkan dan sang rektor itu juga didukung
para sivitas akademika, yang konon menjujung tinggi kebenaran dan otonomi
kampus. Mereka tahu akan hak dan kewajibanya sebagai mahasiswa, tapi tidak
mampu mempergunakan hak itu karena tekanan, baik dari dalam (rektor) maupun
dari luar (militer) sangat kuat. Di tengah tekanan militer yang begitu kuat
itulah, pernyataan Rektor ISI Yoguyakarta yang secara tegas menyatakan berada
di belakang mahasiswa sebagai cerminan keberpihakanya kepada mahasiswa bukan
pada penguasa.
Dalam situasi
politik semacam ini, posisi mahasiswa berada dalam kondisi yang dilematis. Oleh
para dosenya selau diteror melempem, tidak kritis-kreatif-progresif, dan di
masyarakat disorot sebagai apatis dan apolitis, tapi ketika sang mahasiswa
angkat bicara sambil mengepalkan tangan di halaman kampus, di hadapanya telah
berdiri orang bersepatu lars dan senjata bedil yang siap menghajarnya. Akhirnya
mahasiswa makin tersidut dan tersngkur dalam kepapaanya, mereka juga tidak tahu
apa yang harus di perbuat.
Para mahasiswa
dekade 1980-an masih agak beruntung karena mereka hidup dalam suasana yang
lebih kondusif melalui kelompok-kelompok studi yang menjamur saat itu. Kelompok
studi ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perrtiumbuhan
intelektual mahasiswa, karena salah satu sikap yang menonjol dan selalu muncul
pada pertemuan kelompok adalah buku baru yang dibaca. Barang siapa yang membaca
buku terbaru itulah orang yang paling hebat. Semangat membaca buku baru,
terutama buku-buku kritis memberikan kontribusi besar pada penguasaan teori
sekaligus pengembangan intelektual mahasiswa.
Tapi, kelompok
studi itu tiarap dan menghilang begitu saja sejak terjadi penangkapan Isti
Nugroho, Bonar Tigor, Naipospos dan Bambang Subono dengan alasan mengedarkan
buku-buku Pramoedya Anamta Toer, terutama rumah kaca, dan gadis pantai, 1988
yang dicap oleh penguasa Orde Baru sebagai buku komunis sehingga dilarang
secara resmi oleh Kejaksaan Agung.
Dalam struktur kekuasaan yang otoriter itu, peran kaum
terpelajar sebagai pengembang sikap kritis analitik tidak lagi meperoleh ruang.
Kebenaran bagi penguasa bersifat tunggal yang dibentuk oleh penguasa itu
sendiri. masyarakat termasuk orang kampus tidak memiliki hak untuk turut
menginterpretasi kebenaran yang universal. Dalam situasi seperti ini,
sebenarnya kekuasaan pun tidak terkontrol, apa yang dikatakan penguasa selalu
benar sebaliknya yang dikatakan warga selalu salah. Bisa-bisa masyarakat
sendiri buta terhadap kebenaran sehingga tidak mampu lagi melakukan fungsi
kontrol , karena turut meyakini bahwa apa yang namanya kebenaran itu hanya
bersumber pada penguasa.
3.
Belenggu di Kampus Biru.
Cintaku
di Kampus Biru adalah salah
satu judul novel populer karya Ashadi Siregar, Dosen FISIPOL (Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik) UGM yang terbit tahun1970 dan kemudian di filkan
sebagai film percintaan dengan judul yang sama dan dibintangi Rae Sita, Ror
Marten, serta Yati Octavia, sesungguhnya tidak hanya menghantarkan penulisnya
ke jenjang popularitas, tapi sekaligus menimbulkan kesan khas mengenai suasana
kampus UGM yang menjadi setting
cerita dan sekaligus lokasi shooting film Cintaku
di Kampus Biru yang romantis dan
penuh kenangan.
Selain ada faktor rasional (mutu pendidikan yang relatif
bak, biaya relatif ringan dan gengsi yang tinggi) juga faktor irasional (emosi
romantisme) turut mengundang ribuan lulusan SMTA untuk turut memperebutkan
kursi di Kampus Biru tersebut. Ada semacam kebanggan tersendiri bila dapat
lolos seleksi masuk UGM. Terlebih jika melihat sejumlah tokoh pernah duduk
dalam kabinet dan sekian gubernur dan bupati di Indonesia adalah jebolan UGM.
Tapi, apa yang dilukiskan di depan sebetulnya lebih
bermakna sebagai mitos bagi generasi kemudian, terutama bila semakin banyak
dicipta belenggu baik fisik maupun nonfisik lingkungan kampus tersebut. Dua hal
itu sebetulnya saling menunjang sehingga daya resepsinya sangat terasa di
kalangan mahasiswa.
Tanpa disadari, kampus UGM sekarang sebenarnya telah
masuk dalam paket wisata bagi pelajar/mahasiswa dari luar DIY, juga paket
wisata bagi keluarga-keluarga dari lain kota yang memiliki ikatan emosional
atau mereka yang memimpikan anak cucu mereka dapat turut serta mengenyam kebesaran
nama Sang Gadjah Mada. Namun, aktifitas turistik itu agak tergangu Ketika
Kampus Biru tersebut menciptakan belenggu fisik berupa pemagaran pekarangan
kampus, karena lokasi kampus memang benar-benar dipisahkan dari komunitas
sekitar, padahal semua keunggulan fisik UGM adalah karena tidak ada barrier (penghalang) antara kampus dan
komunitas sekitar.
Sedangkan belenggu nonfisik, namun tidak kalah kuat
cengkeramanya adalah munculnya mekanisme birokrasi yang secara sistematis
membelenggu kebebasan para sivitas akademika, baik untuk berkreasi maupun
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang lebih luas. Beberapa contoh belenggu
nonfisik: pembatasan masa studi yang makin ketat, mengundang militer masuk
kampus untuk menghalau aksi mahasiswa, kriteria mahasiswa berprestasi yang
hanya dilihat pada nilai indeks prestasi (IP) saja dan birokrasi perizinan
untuk kegiatan ilmiah yang berbelit dan sangat tidak bermutu.
Pemaksaan mahasiswa hanya untuk belajar di kampus saja
justru akan melahirkan tindakan agresifitas yang tiak terkendali karena energi
mahasiswa menjadi berlebih. Kecuali itu, tidak semua mahasiswa memiliki minat
yang sama, yaitu menjadi ilmuan. Manusia itu amat beragam latar belakang, minat
dan cia-citanya. Oleh sebab itu, mereka juga perlu difasilitasi dengan beragam
cara, tidak bisa hanya dengan mengurung mereka untuk belajar di dalam kampus
saja. Membuat pemisahan secara tegas antara teori dan praktik, antara wacana
dan realitas dengan cara mengurung mahasiswa untuk berada dalam kampus saja,
juga merupakan bentuk halus dari tindakan membelenggu kebebasan manusia.
BAB X
Disorientasi Perguruan Tinggi Kita
Mendung kelabu menggelayuti pada dunia perguruan tinggi
swasta (PTS) di Indonesia bersamaan dengan perubahan status beberapa IKIP
(negeri) menjadi Universitas. Seorang pembantu raktor sebuah PTS di Yogyakarta
dalam suatu percakapan (1996) menuturkan terjadinya penurunan minat memasuki
PTS rata-rata 20 persen dalam dua tahun terakhir bersamaan dengan maraknya
program diploma dan extension yang
dibuka oleh universitas-universitas negeri terkemuka.
Perubahan IKIP swasta menjadi universitas swasta juga
semakin mempertajam persaingan antar sesama PTS. Sebab, hal itu juga
berimplikasi pada perubahan profil mahasiswanya. Jika PTS masih berstatus IKIP
hanya diminati oleh masyarakat desa dan pinggiran, maka setelah berubah status
menjadi universitas akan diminati semua lapisan masyarakat (yang tidak diterima
di PTN). Secara otomatis, PTS yang tidak memiliki daya tahan untuk berkompetisi
langsung akan tergilas.
Bagi pengelola PTS, menurunya animo masyarakat masuk ke
PTS itu merupakan dilema besar. Apakah membubarkan diri atau bertahan terus
dengan menerapkan manajemen ala kadarnya sekedar untuk survival tanpa peduli pada kualitas pelaksanaan Tri Dharma
Perguruan Tinggi?
Pilihan pada pembubaran diri, sama halnya kehilangan
ladang subur, sedangkan pilihan pada survival
semata menghadapkan pada kritik masyarakat yang sangat tajam, menyangkut visi
dan misi pendirian PTS. Bagi para pengelola PTS, tampaknya tidak ada pilihan
ain yang lebih baik karena pilihan-pilihan lain itu telah dimatikan oleh sistem
politik yang berkuasa.
1. KKN
Penting tapi Tidak Perlu.
Disorientasi
pendidikan tinggi tidak hanya terjadi di PTS, tapi juga di PTN. Banyak PTN
terkemuka di Indonesia yang menjalankan suatu program untuk mahaiswa sebetulnya
tidak esensial tapi cukup memakan waktu, biaya, dan konsentrasi pikiran,
misalnya program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dengan terjun ke desa-desa selama
1,5-3 bulan (tergantung kebijakan masing-masing perguruab tinggi) yang sifatnya
wajib bagi seluruh mahasiswa S1.
Program KKN ini bila dilihat dari efisiensi, efektifitas
dan profesionalisme bidang sungguh tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan
para sarjana di zaman globalisasi. Tapi karena menjadi mata kuliah wajib, maka
mau tidak mau harus dilaksanakan. KKN itu sendiri merupakan konsep lama yang
seharusnya terus di-up date metodologinya setiap saat untuk mengecek
relevansinya dengan perkembangan zaman dan kebutuhan mahasiswa.
Konsep KKN
pertama kali muncul pada tahun 1971 atas rintisan Universitas Gadjah Mada
(UGM), Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin (Unhas). Ketika program
itu di gagas, kondisi masyarakat umumnya masih terbelakang, lebih dari 80%
penduduk tinggal di desa, prasarana dan sarana transportasi masih buruk, belum
ada listrik, sekolah masih sedikit sehingga masih banyak orang yang buta huruf,
demikian pula alat-alat elektronik seperti radio dan televisi masih dimilii
segelintir orang saja.
Pada waktu digagas
dulu, jelas sekali program KKN memiliki relevansi yang tinggi dengan kebutuhan
masyarakat di desa, yang masih banyak memerlukan kehadiran orang luar, terutama
yang terdidik untuk memajukan desa. Sedangkan untuk masyarakat desa, dengan
adanya mahasiswa masuk ke desa, mereka terdorong untuk lebih maju, karena KKN
dapat membuka wawasan masyarakat yang lebih beragam.
Kesalahan program KKN adalah berangkat dari konsepyang
salah, yaitu memisahkan perkembangan dunia pendidikan tinggi dari perkembangan
masyarakat. KKN sebetulnya tidak diperlukan lagi sejauh perkembangan kampus
terintegrasi dengan perkembangan masyarakat luas. Dalam artian, ilmu yang
dikembangkan di kampus itu bersumber dari masyarakat. Sebaliknya, apa yang
dipelajari oleh mahasiswa dapat diimplementasikan oleh masyarakat, sehingga
masyarakat dapat menjadi bagian dari laboratorium sosial bagi mahasiswa dengan
sendirinya akan terjadi interaksi yang intensif antara mahasiswa dan masyarakat
desa.
Kekhawatiran penulis, bila program KKN tetap dijalankan
oleh banyak PTN dan PTS tanpa memodifikasi metodologi dan sasaran, maka akan
memberikan andil besar bagi terciptanya inefisiensi bagi penyelenggaraan
pendidikan tinggi di Indonesia terutama bagi PTS-PTS mengingat beberapa hal:
a.
KKN
memerlukan uang yang tidak sedikit untuk membayar kepada universitas dan uang
saku selama menjalankan program KKN.
b.
Pelaksanaan
KKN menyita waktu kurang panjang (1,5-3 bulan).
c.
Program mubazir bagi mahasiswa yang tinggal di
desa dan mahasiswa yang sudah bekerja karena menjalankan program yang mereka
kerjakan setiap hari.
d.
Menciptakan
disorientasi bagi mahasiswa selepas KKN.
2. Metamorfose IKIP Menjadi Universitas
Disorientasi perguruan tinggi pada umumnya,
baik PTN maupun PTS iu juga terlihat dari perubahan status IKIP menjadi
universitas mulai tahun 1995. Perubahan itu didasari oleh realitas empiris
bahwa makin tahun animo masuk IKIP cenderung menurun. Penurunan terutama
terjadi dari segi kualitas, karena mereka yang masuk IKIP adalah umumnya adalah
mereka yang tidak diterima di universitas. Dengan kata lain, IKIP kebanyakan
bagi mereka adalah pilihan kedua atau ketiga.
Makin menurunya kualitas pendidikan nasional
dicurigai sumbernya pada kualitas guru yang makin menurun. Kualitas guru
semakin menurun karena orang-orang yang memilih menjadi guru kapasitasnya juga
pas-pasan, bahkan “koretan” dari bibit yang tidak diterima di universitas.
Dengan perubahan IKIP menjadi universitas, diharapkan citra universitas akan
mengangkat citra lembaga pendidikan guru. Maka sejak tahun 1995, IKIP
beramai-ramai brubah menjadi universitas.
Tapi perubahan IKIP menjadi universitas
juga masih mencerminkan adanya ambivalensi. Sebab di satu sisi nama IKIP
diganti menjadi universitas, tapi di sisi lain fakultas keguruan yang ada di
universitas peralihan itu tetap dipertahankan
sebagai jalur pembibitan calon-calon guru. Hal itu karena peraturan kepegawaian,
terutama yang mengatur persyaratan menjadi guru tidak berubah, yaitu guru adalah lulusan dari LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Keguruan).
Semestinya, bila perubahan IKIP menjadi
universitas itu dimaksudkan untuk menjaring calon-calon guru yang berkualitas,
maka perubahanya jangan setengah-setengah tapi total. Yaitu hapuskan seluruh
fakultas keguruan yang tanpa disadari sebetulnya merupakan pencitaan kelas
(pinggiran) baru, sebab meskipun ada
dalam satu institusi yang sama, yaitu universitas peralihan. Tapi akan tetap
ada stratifikasi mahasiswa antara mereka yang dari fakultas ilmu-ilmu murni dan
mereka yang berasal dari fakultas keguruan.
BAB XI
Kebijakan Sistemik Mematikan
Sekolah Swasta
Keberadaan
sekolah-sekolah swasta di Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang.
Sejarah keberadaan sekolah swasta lebih panjang dari pada sejarah RI sendiri,
karena RI sekarang baru berusia 69 tahun, tapi usia sekolah swasta di negri ini
lebih dari itu. Pada tahun 1862 misalnya, di tanah Batak, Sumatra Utara telah
berdiri sekolah guru swasta (Kweekscoolvoor
Inlandsche Onderwijrez) yang didirikan oleh seorang bumi pitera yang
bernama Sati Nasution alias Sutan Iskandar dan kemudian berganti nama menjadi
William Iskandar. Sayangnya nama Willian Iskandar kini terlupakan dari sejarah
pendidikan nasional indonesia. Beliau merupakan salah satu pelopor dari
pendidikan swasta di negri ini.
Pada akhir
abad ke-19, Romo dan Lith mendirikan Kolese Xaverius di Muntilan, Jawa Tengah.
Pada tahun 1899 sekolah itu bernama Kweekschool,
Normallschool, Hollandsch Inlandsch School (HIS) dan sekolah bahasa jawa (Volksschool Dan Standaardschool).
Pendirian
pendidikan dengan otujuan syiar agama juga dilakukan KH. Ahmad Dahlan dengan
mendirikan perguruan Muhammadiyah (1912)
dan KH. Hasyim Asy’ari dengan mendirikan NU tahun (1962) yang sekarang
membawahi ribuan perhuruan Ma’arif.
Meskipun
latar belakang berdirinya amat beragam, tapi muaranya tetap sama, yakni:
mencerdaskan kehidupan bangsa, memandirikan bangsa, melepaskan bangsa dari
penindasan pemerintah kolonial, serta melawan kebijakan yang deskriminatif.
Kehadiran sekolah-sekolah partikelir tersebut berkontribusi besar pada
penciptaan sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah kolonial.
Paska
kemerdekaan, juga muncul sekolah-sekolah swasta perorangan maupun lembaga yang
murni didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan warga, seperti sekolah
swasta di bawah PGRI, Yauasan Tujuh Belas Agustus, Perguruan Rakyat, Kartika
Al-Azhar, dan sejenisnya. Sekolah swasta generasi kedua itu kehadiranya
melengkapi kehadiran swasta generasi pertama yang menjalankan peran pencerdasan
masyarakat, namun kehadiranya setelah masa kemerdekaan.
Baru setelah
awal dekade 1970-an pemerintah mempunyai unag cukup untuk menyelenggarakan
pendidikan SD secara massif melalui pendirian SD Inpres sejak 1973. Pada akhir
dekade 1970-an, pemerintah juga mendirikan SMPN-SMPN baru di setiap kecamatan.
Mulai dekade awal 1990-an pemerintah mendirikan SMAN baru
di kecamatan-kecamatan sehingga hampir setiap kecamatan di Jawa dan Bali
memiliki SMAN, dan mulai tahun 2000-an pemerinyah mendirikan SMKN baru di
beberapa kecamatan yang dipandang perlu, sehingga dalam satu kecamatan itu ada
SMAN dan ada SMKN minimal satu unit.
Pada awal
dekade 1990-an ketika konglomerat Mochtar Riadi dengan bendera perusahaan Lippo
Group mendirikan suatu lembaga pendidikan swasta baru dari taman kanak-kanak
(TK) hingga Pendidikan Tinggi (PT) yang di kenal dengan nama Pelita Harapan.
Setelah itu mulai bermunculan konglomerat yang mendirikan sekolah swasta
seperti Sekolah Global Jaya International School, Insan Cendekia, Tiara Bangsa
dan lain-lain.
KARAKTERISTIK SEKOLAH SWASTA
1. Pergeseran
Pandangan: Kemunduran Bangsa
Perkembangan
sekolah partikelir atau swasta tidak terlepas dari perhatian pemerintah yang
dapat diketahui melalui regulasi yang ada, yaitu UU maupun peraturan turunanya
yang mengatur tentang pendidikan. Sampai tahun 2014, kita telah memiliki tiga
kali undang-undang yang mengatur masalah pendidikan yaitu:
a.
UU
Tahun 1950 junto UU No. 12/1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pengadjaran di
Sekolahan.
b.
UU
No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c.
UU
No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
2. Pengakuan Sekolah Swasta.
UU Tahun 1950 junto UU No. 12/1954 tentang
Dasar-Dasar Pendidikan Pengadjaran di Sekolahan yang dubuat zaman RIS dan konon
diarsiteki oleh orang-orang Tamansiswa itu terasa amat jelas sikapnya.
Di sini, terdapat perbedaan yang amat jelas
mengenai status sekolah negeri dengan sekolah swasta atau partikelir, yaitu
dilihat dari penyelenggraanya. Pada UU Sisdiknas, baik No.2/1989 maupun
UU.20/2003 tidak lagi ditemukan istilah sekolah swasta. UU Sisdiknas No.2/1989
memakai istilah “Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh “masyarakat”
sedangkan UU Sisdiknas No.20/2003 memakai istilah “Pendidikan Berbasis
Masyarakat”,
3. Dasar Pendidikan Sekolah Swasta.
Dalam UU No. Tahun 1950 junto UU No.
12/1945 terlihat seklai sikap pemerintah dalam memberikan ruang kepada
masyarakat untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta. Pasal 13 menyatakan:
1)
Atas
dasar kebebasan tiap-tiap warga Negara menganut sesuatu agama untuk keyakinan
hidup, maka kesempatan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggrakan
sekolah partikulir.
2)
Peraturan
–peraturan yang khusus tentang sekolah-sekolah partikulir ditetapkan dalam
undang-undang.
Pasal 13
ini memperlihatkan kebijaksanaanya para pendiri bangsa yang menghargai
keragaman dalam beragama dan masing-masing agama itu perlu mengembangkan
syiarnya melalui dunia pendidikan formal. Keberagaman tersebut tidak dimatikan,
tetapi difasilitasi dengan diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah-sekolah
yang didasarkan pada keyakinan agama maupun kepercayaanya.
4. Masalah Pendanaan.
UU
No. Tahun 1950 junto UU No. 12/1945 tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pengajaran
di sekolah pasal 14 menyatakan secara jelas:
1)
Sekolah-sekolah
partikulir yang memenuhi syarat-syarat, dapat menerima subsidi pemerintah untuk
pembiajaanja
2)
Ajarat-sjarat
tersebut dalam ajat (1) dan peraturan pemberian subsidi ditetapkan dalam
peraturan pemerintah.
Meskipun aturanya tidak begitu kuat, namun dalam
prakteknya pemerintah pada saat itu cukup peduli pada keberadaan
sekolah-sekolah swasta. Sampai tahun 1980-an masih dijumpai sekolah-sekolah
swasta bersubsidi. Adapula sekolah swasta berbantuan, yaitu statusnya sekolah
swasta tapi biaya operasionalnya 50% ditanggung oleh Negara.
5. Otonomi Sekolah Swasta.
Pengakuan pemerintah terhadap keberadaan
sekolah-sekolah swasta pada masa pemerintahan sukarno dulu ditandai dengan
pemberian otonomi yang penuh kepada para penyelenggara sekoalh swasta, yang
tercermin dalam pasal 20, yang menyatakan:
1)
Dalam
sekolah-sekoalh Negeri diadakan peladjaran agama, orang tua murid menetapkan
apakah anakja akan mengikuti peladjaran tersebut.
2)
Tjara
menyelenggarakan pengadjaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam
peraturan yang ditetapkan menteri pendidikan. Pengadjaran dan kebudajaan
bersama-sama dengan menteri agama.
6.
Dukungan Pemerintah.
Melihat
sejarah dan karakter sekolah-sekoalah swasta yang berbeda antara generasi pertama,
kedua dan ketiga. Maka perlakuan terhadap sekolah-sekolah swasta itu tidak bisa
sama rata. Pemerintah bisa saja tidak memberikan dukungan sama sekali pada
sekolah swasta generasi ketiga, tapi wajib hukumnya pemerintah memberikan
pendanaan pada sekolah-sekolah generasi pertama dan kedua. Karena mereka telah
berjasa besar dan turut serta dalam mewujudkan kemerdekaan RI dalam proses
pencerdasan bangsa, terutama pada saat negara belum mampu secara ekonomi
menyelenggarakan pendidikan untuk pencerdasan semua warganya. Tanpa peran
sekolah generasi pertama dan kedua, sulit membayangkan bahwa angka partisipasi
pendidikan dari SD-PT yang tinggi sekarang ini dapat tercapai.
TANGGAPAN ISI BUKU
Buku “Pendidikan Yang
Memiskinkan” karya Darmaningtyas ini merupakan buku yang mengupas dan
menguraikan benang kusut pendidikan di Indonesia. Setiap kata dalam buku ini
dirangkai menjadi kalimat, disatukan menjadi paragraf, dipadatkan menjadi
poin-poin dan sub-bab, yang sangat jelas menguraikan masalah pendidikan di
Indonesia, dan membukakakn mata kita bagaimana kusutnya birokrasi pendidikan
maupun budaya masyarakat kita tentang pendidikan.
Buku yang merupakan
kumpulan dari artikel dari pak tyas ini menjadikan pemaparan sangat rinci,
serta tidak mengada-ada karna pada dasarnya pak tyas langsung terjun dalam
lingkungan tersebut, fakta-fakta tentang pendidikan di Indonesia di ungkap
disini.
Seorang pak tyas yang
terjun langsung di lapangan karna beliau adalah seorang guru, menjadikanya tau
setiap jengkal permasalahan pendidikan, menguraikanya secara kritis dan yang
paling penting mengangkat bagaimana perjuangan masyarakat miskin untuk menempuh
pendidikan. Terutama pendidikan di Indonesia yang semakin memiskinkan.
Meski permasalahan yang di
uraikan kurang up-to-date namun permasalahan dan isu-isu dalam buku ini
nyatanya masih relevan dengan permasalahan pendidikan di Indonesia.
Adapun yang perlu
diperhatikan penulis dalam buku ini dadalah , meskipun menguraikan masalah
secara gamblang, rinci dan kritis, namun dalam buku ini tidak menguraikan
bagaimana penyelesaian secara nyata dari problem-problem pendidikan yang
semakin memiskinkan masyarakat Indonesia.
Buku ini kiranya sangat
cocok untuk seseorang yang bergelut dalam bidang pendidikan. Agar kitaa semua
mampu menyadari betapa kusutnya pendidikan Indonesia. Yang patut direnungkan
semua kalangan. Terutama pendidikan yang syarat akan pemiskinan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar